7 - Lubang

4.5K 257 61
                                    

"Ada sebuah lubang. Ganjil sekali tabiatnya. Jika terbuka lebar-lebar, yang di dalam justru tidak mau keluar, tapi jika terbuka sempit, yang di dalam keluar seperti terbang. Apakah lubang itu?" (Novel Bulan hal. 219)

Masih ingatkah dengan teka-teki itu? Sudah pada tahu jawabannya kah? Mungkin sebagian sudah tahu.

Tapi karena di novel Bulan enggak dikasih tahu jawabannya, jadi aku kepikiran membahas teka-teki itu kali ini.

Langsung saja ya...

***

Pukul satu siang, di dalam angkot terasa panas. Ali telah membuka jendela lebar-lebar sedari tadi, bahkan ia membuka dua kancing paling atas seragamnya. Gerah.

Untungnya Ali tidak membuka seluruh kancing, apalagi sampai membuka celananya. Huh! Bisa gawat mataku ini!

Bagian bawah seragam Ali pun dibiarkan keluar. Rambutnya? Ya, seperti biasa. Berantakan. Sudah macam bad boy saja penampilannya.

Eh, kok aku malah bahas Ali, ya? Dasar Raib! Mohon maaf para pembaca sekalian, seharusnya aku membahas latar suasana di sini. Baiklah, akan aku lanjutkan.

Jalanan macet, suara klakson terdengar bising menusuk telinga, sesekali meningkahi suasana.

Hanya aku, Seli, dan Ali yang menumpang di sini. Ali di pojok belakang, aku di tengah, dan Seli di dekat pintu. Sedangkan sopir angkot yang cerewet itu, sedang sibuk mengelaksoni mobil di depan. Ya, lagi-lagi aku menaiki angkot dengan sopir yang sama.

Aku dan Seli hendak membeli rendang. Karena perjalanan ke rumah Ali melewati rumah makan, jadilah si biang kerok itu ikut.

Saat kemacetan memudar dan angkot mulai berjalan melewati perempatan, muncul masalah baru. Masalah yang membuat salah satu dari kami terpaksa menggunakan kekuatan.

Bukan! Bukan masalah dipalak preman lagi. Melainkan saat angkot ingin menyalip mobil di depan melewati pinggir jalan, roda belakang angkot malah masuk ke lubang yang cukup dalam.

Sopir angkot itu tidak sabaran sekali. Ia tidak bisa menyalip ke tengah jalan karena banyak mobil dan nekat menyalip ke pinggir jalan yang banyak lubangnya.

Lalu masalah puncaknya adalah ketika roda ban belakang masuk ke lubang, otomatis aku akan terjatuh ke belakang dan menimpa Ali.

Kepalaku terjatuh menimpa dada bidang Ali, membuatku mencium seragam dengan dua kancing terlepas itu. Beruntung aku tidak mengenai wajahnya. Kuyakin pipiku sudah memerah sekarang.

Aku refleks menjauhkan kepala dari Ali. "Mm- Maaf, Ali."

Aku menatap Ali yang wajahnya juga memerah. "Eh, i-iya. Tidak apa-apa, Ra..." Ali menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ehem ehem..." Seli yang barusan menimpaku, terbatuk-batuk. Aku tahu maksudnya. Menyebalkan.

"Ai, macam mana ini? Tak bisa keluar angkot kesayangan aku. Lubangnya dalam pula!" Sopir angkot terus mengomel.

Sopir angkot jadi nge-gas terus dalam situasi seperti ini. Pertama nge-gas omongannya. Kedua nge-gas dalam arti harfiah, nge-gas agar mobil angkotnya bisa keluar.

"Woi! Kau, Mas yang rambutnya berantakan! Bantu aku lah, jangan macam patung diam-diam saja!" Sopir angkot menengok ke belakang, menatap Ali.

"Eh, siapa?" Ali masih celingak-celinguk, mencari orang yang dimaksud.

"Kau lah! siapa pula yang rambutnya berantakan disini selain kau, heh?" Sopir angkot menunjuk Ali. Aku teratawa dalam hati mendengarnya.

Benar juga, baru kali ini aku sependapat dengan sopir cerewet itu. Siapa lagi yang rambutnya berantakan di sini selain Ali? Sopir angkot saja tidak seberantakan itu. 100 buat sopir angkot!

Raib Seli dan AliWhere stories live. Discover now