6

11 0 0
                                        

Samar-samar aku mendengar kegaduhan di dalam kamarku. Tirai yang biasanya tertutup pun kini terbuka lebar hingga sinar matahari tak segan-segan masuk dan menerangi kamarku.

Aku meringis perih saat mencoba menggerakkan kedua tanganku.

Viona mendekatiku dengan cemas.

Plak!

Viona memukul dahiku keras sekali.

"Lo benar-benar ingin mati ya?!" Marahnya padaku. Dia mengambil posisi duduk tepat di sebelahku. "Belum puas minum-minum waktu gue gak ada di samping lo?!" Katanya lagi.

"Lo buat gue hampir mati tahu!" Bentak Viona.

Membuatnya hampir mati? Kupikir, aku hanya menyakiti diriku saja. Aku bahkan tidak sama sekali menyayat tangannya ataupun ikut membenturkan tangannya ke dinding kamarku.

"Untung ayah lo tidak ada." Aku mendengar Viona menghela napas lega. "Gue tidak mengerti jalan pikiran lo, Ser. Apa lo segitunya tidak punya harapan untuk kehidupan lo?"

"Harusnya lo tidak perlu datang dan nyelamatin gue, Vi."

"Sera!" Bentak Viona kesal. "Kalau lo ngomong sekali lagi, gue bakal benar-benar bunuh lo!" Dia mengancamku namun itu bagus.

"Itu bagus, Vi. Lakukan." Tantangku sambil menatapnya.

Bibir Viona mengatup rapat. Ia memandangku tak mengerti.

"Cepat bangun, kita pergi ke rumah sakit untuk mengobati semua luka lo." Viona membantuku untuk bangun dan menggiringku menuju teras rumahku.

Di sana terdapat Ari, Kevin, Indra, dan Bagas dengan seragam sekolah mereka.

"Lo semua cabut?" Tanyaku tak menyangka.

"Iya."

"Kenapa?" Aku bertanya lagi.

"Pertemanan di atas segalanya, Ser." Itu adalah jawaban Ari.

Aku membeku sambil mengedarkan pandanganku pada mereka semua yang tampak mengurai senyum membenarkan jawaban Ari.

Ayah dimana?

Aku kesakitan, yah.

Aku habis menyiksa diriku sendiri, yah.

Aku hampir saja kehilangan nyawaku, yah.

Ayah dimana?

Apakah ayah tidak khawatir dengan aku yang dulu tidak pernah absen dicium ayah?

Entah yang mana yang harus aku syukuri, di temukan oleh temanku dalam keadaan selamat atau merenggang nyawa karena menunggu sampai ayah mencari dan menemukanku di atas lantai kamar?

Aku benar-benar tidak tahu.

-

"Sera."

Aku menoleh saat Indra memanggilku.

"Ada yang mau kenalan sama lo." Kata Indra dengan sebuah senyuman di bibirnya.

"Siapa? Cowok?"

"Iya."

Aku terdiam cukup lama. Menimbang-nimbang apakah saat ini aku membutuhkan kekasih atau tidak. Jujur saja, aku takut ia akan menyakitiku nantinya. Seperti yang dilakukan ayahku.

Aku takut ia akan membuat lubang di hatiku dan aku akan merasakan kehilangan untuk yang ke sekian kalinya.

"Jangan terlalu jauh berpikir, Ser. Bisa saja dia hanya ingin berkenalan dengan lo. Tidak lebih." Ujar Indra yang dapat menghapus pikiran jauhku itu. "Dengan lo yang selalu berpikir kalau lo bakal disakiti dan berujung pada titik dimana lo akan merasa kehilangan seorang diri itu tidak akan membuat lo bangkit menghadapi kenyataan. Lo hanya akan dikelilingi oleh rasa takut yang berasal dari sugesti lo sendiri, Ser. Dan tidak akan ada perubahan di hidup lo."

Learn to be AloneWhere stories live. Discover now