4

47 5 0
                                        

"Lo kenapa, Vi?"

Aku menyambut Viona yang baru saja datang dengan mata yang sembab dan merah. Gadis itu duduk di sampingku dengan bibir yang mulai bergetar.

Kebiasaannya yang ia lakukan setiap habis berkelahi hebat dengan orang rumahnya. Menangis di sekolah.

"Mama lo?" Tebakku.

Viona menggeleng. "Ayah gue."

Aku seketika teringat ayahku dan perkelahianku dengannya dan juga pelarianku saat ini yang memilih rumah ibuku sebagai tempat tujunya.

"Lo berkelahi dengan ayah lo?"

Viona kini mengangguk.

Sama. Batinku.

Niat untuk menceritakan perkelahianku dengan ayahku pun aku urungkan. Aku tidak ingin membebani Viona dengan masalah milikku yang tidak seberapa ini. Biarlah kali ini ku pendam semuanya sendiri.

"Gue nginep di rumah lo, ya?"

"Tidak bisa, Vi. Gue hari ini pulang ke rumah ibu gue."

"Oh, yang jauh itu, ya?"

Aku tertawa mendengarnya.

Tak lama, aku melihatnya menghubungi seseorang.

"Halo, Putri?"

"Putri, gue menginap di rumah lo, ya?"

"Iya, gue berkelahi dengan orang rumah."

Rupanya Putri juga dapat menebak alasan Viona ingin menginap di rumahnya. Temanku itu terlalu mudah di baca. Ia terlihat sangat transparan. Mudah mengekspresikan emosi yang sedang menguasainya.

Tidak sepertiku.

"Yaudah, pulang sekolah nanti gue ke rumah lo kalau gitu."

"Terima kasih, Putri."

Maaf, Vi, untuk kali ini aku tidak bisa menemanimu dalam sulit. Aku pun mengalami hal yang sama.

Maaf, Viona.

-

Waktu menunjukkan pukul 5 sore ketika aku sampai di rumah ibuku. Tidak ada ibuku dan juga Mas Radit.

Aku membuka kulkas namun tidak ada persediaan makanan di sana.

Kemudian aku menarik secarik kertas di atas meja makan tempat biasa ibu meninggalkan uang harian untukku makan. Ya, akhir-akhir ini ibu selalu meninggalkan uang untuk ku makan. Entah itu uang cash ataupun ia kirim melalui rekeningnya.

Ibuku memang selalu seperti itu, sibuk dengan pekerjaannya. Aku tidak keberatan, toh, uang tidak selamanya buruk. Aku hanya menyimpannya di dalam dompetku tanpa menggunakannya.

Aku meraih ponselku dan menghubungi seseorang.

"Ari, ayo keluar malam ini." Ajakku saat ia menjawab panggilan teleponku.

"Gue sama yang lain ada di warung kopi tikungan. Tempat biasa."

Aku mengangguk. "Gue kusut, Ri."

Ku dengar Ari tertawa kecil karena ucapanku. Aku ikut mengurai senyum tipis. "Yaudah cepetan sini. Ceban pertama nih gue."

Aku mengerti ucapan Ari. Ia selalu mengungkapkan kalimat itu saat Ari dkk ingin membeli minuman yang sama seperti malam itu.

"Kalau gitu, gue ceban kedua." Ucapku menimpalkan dengan senyuman miris di bibirku.

Malam ini, sedikit saja, aku ingin merasakan ketenangan dan kesenangan walaupun hanya sesaat.

Learn to be AloneWhere stories live. Discover now