2

163 12 0
                                        

Hari ini aku sengaja datang pagi-pagi sekali ke sekolah. Aku merasa kalau aku butuh udara segar.

Malam tadi, ibuku menelponku. Entah mengapa perasaanku tidak senang padahal dia ibuku dan aku tidak serumah dengannya jadi mungkin saja dia menelponku karena rasa rindunya pada anak bungsunya ini.

Mengapa aku tidak senang? Padahal itu adalah hal yang wajar. Menelpon karena rindu.

Wajar.

Biar ku beritahu, mengapa hal itu mengusikku?

Hal itu membuatku teringat akan masa-masa kecilku yang bahagia tanpa kurangnya kasih sayang orang tuaku dan kakak-kakak ku. Aku kembali menangis sembari memandangi tulisan yang sengaja ku buat di dinding kamarku dengan tinta hitam.

I wish i could turn back time to the good old days.

Dulu, aku tidak perlu kesulitan meminta pelukan saat aku bersedih. Ibu selalu memberikannya secara cuma-cuma.

Dulu, aku tidak perlu berteriak meraung-raung saat aku lapar. Ibu selalu memberikannya tepat waktu.

Dulu, aku tidak perlu medium saat aku ingin berbincang dengan ibu.

Tapi itu dulu.

"Sera?" Viona datang dan menaruh tasnya di kursi yang berada di sampingku. "Tumben dateng pagi? Pasti belum ngerjain PR kan?"

Aku tersenyum tipis sambil mengangguk.

"Lo sudah ngerjain, Vi?"

Viona mengangguk. Kedua tangannya sibuk merogoh tasnya dan di detik kemudian dia mengeluarkan sebuah buku bersampul biru. Buku sejarah.

"Banyak banget." Kata Viona sambil bergidik. "Lo yakin bisa nyelesaiin?"

Aku mengangguk.

Aku mengambil buku sejarah milik Viona dan mulai menyalinnya dengan kecepatan super, mengingat bel sebentar lagi berbunyi.

-

Aku tertidur!

Tidak kurasa, kebiasaan begadangku telah memberikan efek ke dalam proses belajarku. Selama jam pelajaran sejarah berlangsung, aku benar-benar tertidur!

Itu yang di katakan Viona.

Dan juga, guru sejarahku yang juga mantan wali kelas 10 ku itu dengan sengaja memotretku menggunakan ponsel miliknya.

Satu lagi masalah yang akan membuat namaku semakin tercemar!

"Sera!"

Aku terlonjak kaget karena kebiasaan Viona yang selalu berteriak memanggilku. "Tidak usah pakai teriak berapa, Vi?" Sinisku padanya.

"Kamu yang bengong dari tadi. Kok jadi aku yang di marahi?" Cibirnya.

Aku ikut mencibir dengan bibir yang komat-kamit.

"Nanti malam anak-anak mau nyari yang 'anget-anget' katanya. Lo mau ikut, Ser?" Tanya Viona yang sudah duduk di sampingku.

Aku mengangguk tanpa ragu. Viona memekik girang.

"Siapa saja?"

"Ari, Kevin, Indra, Bagas, gue, dan lo."

Aku ber-oh ria membalas ucapan Viona itu.

"Tapi mereka maunya di rumah lo, Ser."

"Iya, Vi."

Bukan hanya Viona, aku juga memiliki beberapa teman yang lain seperti yang di sebutkan Viona itu; Ari, Kevin, Indra, dan Bagas. Biar kalian tahu, mereka ber-empat itu laki-laki.

Entah mengapa aku suka bermain dengan laki-laki. Mereka tidak ribet, tidak neko-neko, dan yang paling penting itu mereka tidak banyak drama.

Sepulang sekolah, aku bersama dengan Viona dan Ari dkk mengendarai motor menuju ke rumah ayahku—tempat biasa kami berkumpul.

Pukul 11 malam, terhitung 2 jam sudah Ari dkk melaksanakan acara mereka. Kulihat Bagas menuangkan lagi cairan berwarna gelap ke dalam gelas plastik lalu memberikannya pada Ari yang berada di sampingnya.

Entah sudah putaran ke berapa.

Aku sudah terbiasa dengan bau minuman itu yang menyengat. Aku pernah mencicipinya sekali. Hanya sekali karena aku penasaran dengan rasanya.

"Ih, dasar aneh! Baunya seperti tape, tidak enak!" Gerutu Viona sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku ikut tertawa mendengarnya. Sedari tadi, kerjaan Viona hanya menggerutu karena ia tidak menyukai bau minuman tersebut.

"Ser, gue takut ayah lo tahu."

Aku menggeleng, "Dia tidak peduli, Vi." Jawabku acuh.

"Tapi, Ser—"

"Vi."

Kulihat dia akhirnya mengangguk pasrah.

"Lo nginep aja ya, Vi?"

"Tapi gue tidak sedang berkelahi dengan orang rumah, Ser."

"Yaudah kalau gitu." Kataku akhirnya. "Lo pulang sama siapa?"

"Ari?" Jawabnya yang terdengar seperti orang bertanya.

Aku mengernyit bingung. "Dengan keadaan Ari yang seperti ini? Duh, gue jadi tidak yakin lo akan sampai rumah alih-alih ke rumah sakit."

Viona terkekeh dan kemudian menggeleng, "Dia hanya butuh 30 menit untuk menyadarkan diri, Ser. Tidak perlu khawatir." Ucap Viona yang dalam hati ku benarkan juga.

"Belajar motor, Vi. Sudah 18 tahun tapi lo belum bisa mengendarai motor."

"Gue belajar, Ser."

"Belajar apa?"

Viona menyengir, "Belajar buku."

Aku tersenyum menanggapinya. Jujur saja, aku mulai terbiasa dengan keberadaan Viona di rumahku. Setidaknya jika gadis itu berada di sini, kesendirian itu tidak benar-benar tampak ke permukaan.

Viona made my day.

Biarlah, mungkin aku harus mulai terbiasa lagi dengan malam panjang penuh kesendirian. Persis seperti malam-malam sebelumnya.

-
A. N : sori guys kalo aku gunain perumpamaan yang buruk bcs idk apa yg harus aku gunakan untuk kegiatan 'minum' gituuu...

ya kl di real life sih biasanya kita emg selalu nyebut kyk gini :
yakali ga kuy
mabok lah
kusut nih
cakung nih
dingin dah
nyari anget-anget yu (karena kata temen2 aku rasanya tuh kyk bikin perut anget/ke bakar gt jd bikin suasana panas/keringetan)

atau mungkin kalian punya cara kalian sendiri? hm, kan setiap org beda2 ya hehehe

Learn to be AloneWhere stories live. Discover now