2

4.7K 196 0
                                    


Seminggu sudah berlalu, sikap Dokter Fatur masih sama. Irit bicara dengan wajah yang selalu tanpa ekspresi. Untung ganteng, kalau jelek, bakal gak laku, celoteh para petugas klinik. Meski demikian, tetap saja para gadis itu selalu salah tingkah di hadapan sang dokter.

"Tolong buatkan saya teh manis!" Fatur bicara tanpa menoleh pada Ayda. Gadis itu melaksanakan perintah tersebut meski sedikit kesal. Dia tidak suka dengan orang main perintah saja. Ambilkan itu! Simpan di sana! Apa itu termasuk tugasnya?

"Buat siapa, Ay?" tanya Ani.

"Buat suami!" rungutnya. Namun langkah tertahan, mata membesar kala melihat dokter Fatur berdiri di depan sana. Wajah Ayda memerah menahan malu mengucapkan kata suami yang cukup keras. Ani yang menyaksikan kejadian itu, berusaha menahan tawa.

"Ya, Allah ...," rasanya Ayda ingin lari dan tak kembali.

*

Dia meletakkan teh manis yang dibuatnya di meja Fatur. Kegugupan sangat kentara terlihat dari getaran tangannya. Syok dan malu masih terasa atas ucapan konyolnya.

"Setiap hari saya minta dibuatkan teh manis. Gulanya satu sendok," pinta Fatur dengan nada datar.

Ayda bernapas lega karena dokter muda itu tak mempersoalkan kekonyolannya. Tanpa sadar, dia masih berdiri menatap Fatur yang sedang meminum tehnya.

"Ada apa? Mau diperiksa?" Fatur menatap Ayda.

Wajah gadis itu memerah seketika. Malunya tingkat dewa. "Eh, tidak kok, Pak."

"Terus?"

"Cuma mau nanya, tehnya sudah cukup manis apa masih perlu ditambah gula? Hehehe!"

Dokter Fatur menatap Ayda lebih intens. Kedua tangannya ditopangkan pada dagu. "Manis," jawabnya tiba-tiba melembut.

Ditatap begitu dalam, Ayda menjadi salah tingkah. Sebelum jantungnya melompat keluar, dia segera berlalu dari hadapan dokter tampan tersebut. Dia kembali ke ruang registrasi klinik dengan detak jantung yang masih berdebar kencang.

"Ehemm, ehemm, lama bener di dalem?" bisik Ita.

"Teh Ita, udah deh. Aku takut keceplosan lagi. Malu, tahu!" mata bulat Ayda dibuat mengiba.

"Sepertinya bukan keceplosan, melainkan memang dari hati," ujar Ani cekikikan.

"Teh Ani ... pleasee!"

Sampai jam pulang, para petugas klinik tak henti-henti menggoda Ayda. Telinganya sampai terasa panas.

*

"Mulai hari ini, sepulang sekolah, Ayda dan Rendi ikut bimbingan Matematika sama Bapak," ucap Zulfikar kepada kedua muridnya yang masuk ke dalam babak penyisihan setelah lulus dua kali seleksi.

"Siap, Pak!" seru Rendi.

"Berapa jam, Pak?" tanya Ayda.

"Sekitar dua jam."

"Waduh, saya gak bisa, Pak. Saya kerja di klinik."

"Masalahnya waktu kita mepet, babak penyisihan seminggu lagi," tukas Pak Zul.

"Emang gak bisa izin, Ay?" tanya Rendi

"Gak bisa, Ren. Kalau ntar kita masuk dua puluh besar, bakal dikarantina, otomatis harus cuti kerja," ujar Ayda gusar. "Saya kerjain di rumah tugas-tugas dari Bapak. Jadi bisa ikut bimbingan satu jam saja. Gimana, Pak?"

"Ya sudah, tidak apa-apa. Kita mulai besok, ya?"

"Siap, Pak!" Ayda dan Rendi kompak mengiyakan.

STRONGER WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang