Bagian 4

150K 1.6K 78
                                    

💔

Seminggu sejak kejadian penamparan itu, hubunganku dengan Adi kian menjauh. Mungkin aku memang bersalah karena telah lancang menamparnya, hanya karena Adi ingin melepas mukena yang sedang kupakai. Tapi rasanya aku enggan untuk meminta maaf terlebih dulu. Biarlah ia dengan sikap dinginnya dan aku dengan sikap keras kepalaku. Biarkan seperti ini saja. Toh sebelum kejadian itu, sikap Adi padaku sudah tak bersahabat.

Aku masih bertahan di rumah Adi. Niatku untuk pergi dari sini belum terkabul karena sampai detik ini aku belum bisa menemukan kostan yang nyaman dan dekat dengan tempat kerjaku.

Pagi ini seperti biasa kami bertiga sarapan bersama. Dan kembali aku harus menahan sesak di dalam sana melihat adegan di depanku. Melati nampak biasa melayani Adi, mengambilkan nasi dan lauk. Memang seperti itu setiap hari. Namun berbeda dengan Adi, yang menurutku pagi ini sangat berlebihan. Kupikir ia sengaja memanas-manasiku.

Pria itu dengan sok mesra menyuapi Melati. Aku benar-benar muak melihatnya. Jika bukan karena aku menghargai masakan Melati, sudah sejak tadi aku meninggalkan meja ini.

Melati sendiri nampak kurang nyaman dengan perlakuan Adi. Beberapa kali ia tersenyum canggung padaku. Dan mencoba menyudahi sikap sok mesra Adi.

"Aku makan sendiri saja, Di," pinta Melati.

"Aku ingin menyuapimu, Sayang." Adi kembali mengarahkan sendok pada mulut Melati. Ia melirikku, sudut bibirnya terangkat sedikit.

Sungguh aku merasa benar-benar muak melihatnya. Untunglah makanan di piringku telah habis. Aku segera minum dan bersiap pergi.

"Mel, aku berangkat dulu. Terima kasih untuk sarapan lezatnya." Aku segera berdiri meninggalkan pemandangan di meja tadi yang membuatku dadaku nyeri.

💔

"Ta, pulang kerja temani aku ya?" tanyaku pada Marta. Kami sedang makan siang bersama di kantin pabrik.

Marta menghentikan kunyahannya, menatapku penasaran. "Kemana?"

"Pasti lupa deh. Cari kostan, Ta."

"Ah iya, aku lupa," Marta menepuk kening pelan. "Serius kamu mau kos sendiri?" tanyanya penuh khawatir. Gadis bermata sipit itu tau jika aku adalah gadis penakut.

"Iya, Ta. Aku gak kuat kalau harus terus-terusan di sana. Aku juga sedang berpikir untuk mengakhiri ini, Ta. Sakit, Ta ... diabaikan terus." Aku merasa mataku memanas. Ada genangan yang siap meluncur dari mataku.

Marta menggenggam erat sebelah kanan tanganku. Mencoba memberi dukungan.

"Pikirkan baik-baik dulu, Nye. Jangan gegabah. Aku tau, aku paham yang kamu rasakan. Tapi sekali lagi pikirkan baik-baik."

Aku tersenyum mendengarnya. Bersyukur memiliki sahabat se-care Marta. Perbedaan keyakinan tidak membuat kami merasa berbeda. Kami saling mendukung satu sama lain. Membantu sebisanya jika salah satu diantara kami tengah mengalami kesulitan.

"Makasih, Ta."

"Hai Anye, Marta." Kami menoleh pada sumber suara. Lelaki dengan lesung pipit di wajahnya tersenyum pada kami.

"Ferdi! Kamu kapan datang?" Marta nampak terkejut dengan kedatangan laki-laki yang kini telah duduk di sampingku.

"Semalem," jawabnya tersenyum lebar.

Laki-laki itu lalu menatapku, tatapan yang tak bisa ku artikan. "Nye, apa kabar?" suaranya melembut.

Dan itu sukses membuat Marta berdeham sambil menahan tawanya. Aku sendiri merasa tak nyaman.

Aku menncoba mengatur irama jantung yang entah mengapa berdetak lebih kencang. Ferdi, lelaki dari tanah padang merupakan rekan kerjaku kami. Hanya saja kami berbeda bagian.

Orang Ketiga (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang