Bagian 3

150K 1.6K 52
                                    

Happy reading 😁

Tepat pukul tujuh pagi Aku dan Adi telah bersiap menuju Bandung. Selesai sarapan bersama, Melati mengantar kami hingga ke teras.

"Hati-hati ya," pesannya pada kami dengan senyum yang tak pernah luput ia tampilkan.

Adi memeluknya erat. Seperti tak ingin berpisah dengan istri kesayangannya itu.

Aku? Tentu saja aku merasa sedikit kesal.

Melati mengurai pelukan mereka lebih dulu. Mungkin karena merasa tak enak dengan wajahku yang mulai cemberut.

"Kau juga hati-hati di rumah. Kabari aku segera kalau ada apa-apa," pesan Adi. Tangannya masih menggenggam jemari Melati.

Melati mengangguk patuh. Kemudian pandangannya beralih padaku, "Nye, titip Adi ya."

Aku sebal Melati mengatakan kalimat itu lagi. Seolah-olah aku ini baby sitter-nya Adi.

"Tergantung orangnya," jawabku. "Terakhir kamu bilang begitu waktu dia sakit. Nyatanya dia tak butuh bantuanku. Jadi kali ini, aku yakin dia juga tak butuh bantuanku, karena dia benar-benar sehat," ujarku menatap Adi kesal kala mengingat kejadian waktu itu.

Adi menatapku tak suka. Sementara Melati masih saja tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin heran atau apa dengan sikapku dengan Adi yang seperti bocah.

"Di ... ingat dia juga istrimu." Aku tersenyum getir mendengar kalimat itu.

"Hm."

"Ya sudah, sana berangkat. Kasihan Ibu sudah menunggu."

Aku dan Adi akhirnya berangkat menuju kota kembang. Kota di mana aku terlahir dan dibesarkan. Aku telah menghubungi bosku, meminta cuti dua hari untuk perjalanan ini.

Satu jam perjalan kami sama-sama terdiam. Aku menyibukkan diri dengan gawai digenggaman. Membuka sosmed, membalas pesan dari bosku dan Marta lalu beralih berselancar di youtube. Sesekali kulirik Adi yang fokus kejalanan.

Adi memang mempesona. Hidungnya tegak berdiri. Mata kecoklatan dengan alis tebal yang hampir menyatu. Badannya memang tidak six pack tapi cukup ideal. Bahunya yang lebar dengan bobot tubuh yang pas membuatnya terlihat maco. Setidaknya, begitu menurutku.

"Kenapa? Aku tampan ya," katanya penuh percaya diri. Ia menatapku sekilas lalu kembali fokus kejalanan.

Aku menghentikan aksiku memandanginya. Kualihkan kembali wajahku pada layar gawai tanpa membalas ucapannya.

"Kenapa diam saja?"

"Aku rasa, aku tidak perlu menjawabnya."

"Kau lapar?"

Aku menatapnya heran. "Tidak."

Kau tak perlu berpura-pura baik padaku.

"Nanti ... bersikaplah sewajarnya seperti seorang istri."

"Kau yang selama ini tak menganggap keberadaanku, Adi," tuduhku.

"Berhenti menyela saat aku sedang bicara, Anyelir. Tidak bisakah kau menjawab iya!"

"Tidak bisakah kau menganggapku sebagai istri sungguhan? Apa kau tahu rasanya berkali-kali diabaikan? Kau itu egois, Adi! Kau memperlakukan Melati begitu baik. Tapi denganku kau ...."

"Cukup!" Bentaknya lagi.

"Kau laki-laki tak berperasaan yang pernah kutemui. Aku semakin yakin akan mengurus perceraian kita."

"Jangan macam-macam kau!"

"Sebutkan alasan yang tepat untukku mempertahankan pernikahan bodoh ini." Aku menatapnya tajam.

Orang Ketiga (TAMAT)Where stories live. Discover now