· Prolog ·

12.3K 412 31
                                    

Di tengah panasnya jalanan ibukota, tak juga menyurutkan semangat wanita dua puluh dua tahun itu dalam menatap gedung-gedung pencakar langit. Peluh yang membasahi diri tak juga membuatnya beristirahat barang sejenak. Map di tangan yang ia genggam kuat-kuat sebagai alasan dirinya tak mengenal lelah.

Tak ingin terlalu memaksakan diri, dia memilih meneduh di bawah pohon rindang yang ada di taman yang ia lintasi. Mengibaskan jilbabnya untuk sekedar menyejukkan diri.

"Ya Rabbi, panasnya Jakarta. Apa kabar sama neraka, ya? Kenapa orang-orang pada gak mau pakai sepeda aja, sih yang ramah lingkungan. Aduh, knalpotnya bikin sesek napas," dumelnya sambil mengibaskan tangan tak sabar.

Dia menutup mata sejenak sambil berpikir. "Ke mana lagi aku harus cari pekerjaan, masa di Jakarta yang luas begini gak ada lowongan satu pun di perusahaan. Dari shubuh sampai zuhur begini aku belum dapat gimana mau lunasin tagihan rumah sakit begini ceritanya. Astaghfirullah hal adzim, gak boleh ngeluh."

Kembali membuka matanya dan menatap sekeliling yang sepi, dia menghembuskan napas berulang kali. "Yang bilang kalau di Jakarta itu gampang cari kerjaan pasti salah sangka. Lulusan bangku perkuliahan pun gak bisa jamin apa-apa. Gimana sama mereka yang putus sekolah? Ya Allah, kasih petunjuk buat hamba supaya bisa bantu ibu hamba. Bukalah pintu rezeki hamba, Tuhan. Beri hamba jalan keluar dan semoga hamba bisa dapat pekerjaan."

Dia mengusap kedua telapak tangannya ke wajah dan begitu terkejut saat tiba-tiba ada pria yang berdiri di depannya dengan pakaian formal.

Dari mana dia datang? Serius, aku kayaknya gak pernah ngambil hutang sama renternir, tapi, kenapa ada depkoleptor datangin aku? batinnya heran.

"Mau bekerja sama?"

Belum hilang rasa herannya, dia dibuat cengo dengan tawaran yang terlontar.

Secepat inikah Engkau mengabulkan doa hamba?

Wanita itu bangkit dan duduknya dan menatap pria itu dengan dahi mengernyit. "Kerja sama apa? Saya gak nerima kerja sama dengan renternir atau apa pun yang berujung dosa, ya," ucapnya memperingati.

Wajah datar yang tertampang dengan jelas mampu membuat bulu kuduk wanita itu meremang.

"Mau jadi istri saya?"

"Hah?!"

"Saya yakin kamu tidak tuli."

Pakaian formal, bicara formal, tatapan datar. Fix, dia yakin pria itu orang yang kaku.

Matanya menelisik pria itu dari atas ke bawah. Bahkan aura kewibawaan dan ketegasan begitu terpancar jelas. Dan satu lagi keyakinannya, pria itu pasti pekerja kantoran meski di awal ia mengira pria ini adalah depkoleptor.

"Dari penampilan emm... anda sepertinya anda orang kantoran. Bukankah lebih baik jika anda memberikan saya pekerjaan kantoran saja dari pada tawaran menjadi istri?" ucapnya memelan pada bagian istri.

"Dari pada karyawan saya lebih butuh seseorang untuk menjadi istri saya."

"Anda mabuk? Anda sadar anda bicara apa?"

"Saya sadar seratus persen."

Glek.

Dia menelan ludah samar. "Tapi--"

"Kita akan sama diuntungkan. Saya perlu calon istri agar saya tidak dicoret dari keluarga Saddam. Dan kamu...." Sekarang giliran pria itu yang menatap menyelisik. "Sepertinya kamu juga perlu uang banyak."

"Hei!" serunya tak terima. "Meski saya dari keluarga kurang berada, tapi saya bukan wanita gampangan, ya."

"Entahlah. Pilihan hanya ya atau tidak, anggap ini sebagai pernikahan kontrak. Enam bulan menikah dan setelah itu kita selesai. Saya akan nafkahin kamu dan kamu silahkan lakukan tugas sesukamu asal tidak merugikan saya."

"Anda kira pernikahan itu mainan? Saya menikah sekali untuk seumur hidup."

"Terserah. Ya atau tidak. Jika kamu menerima, sore ini saya akan bawa kamu untuk menemui keluarga saya."

"Tapi saya--"

Drtt... drrtt....

"Assalamualaikum, ya, Bun?"

"Kamu di mana, Ki?"

"Kenapa, Bun? Ada apa?"

"Ayah drop lagi dan tadi pihak rumah sakit bilang suruh cepat lunasin biayanya kalau gak peralatan medis ayah bakal dicabut."

"Astaghfirullah. Aku ke sana, ya, Bunda tunggu sebentar. In Syaa Allah aku bakal lunasin biayanya segera."

"Bunda tunggu, ya, maafin Bunda yang repotin kamu. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Wanita itu menutup mata sejenak. Haruskah ia menerima tawaran yang ada di depan mata? Tapi, jika ia menolak nyawa ayahnya sebagai taruhan. Ingin sekali dia membenturkan kepalanya ke dinding, apa yang harus ia lakukan?

Bismillahi rahman nirrahim.

"Saya terima tawarannya. Tapi, tolong jangan bilang pada orang tua saya soal pernikahan yang hanya sebatas kontrak ini."

"Tidak masalah. Ayo, saya antar ke pulang. Saya akan bicara pada orang tuamu untuk meminta restu."

Wanita itu mengangguk pasrah. Otaknya sudah buntu saat ini. Dan semoga saja pilihannya tidaklah salah.

"Mari," ucapnya lemas.
.

.

.

Gimana gimana? Muehehe.

Terdengar aneh emang kalau kamu bayangin terjadi di dunia nyata. Tapi, ingat, ya. Ini cerita fiksi, jadi sesuai sama imajinasi saya meski rasanya gak mungkin terjadi😂

Gak apa-apa, ya. Namanya juga otak berimajinasi.

Next?

Vote yang belum vote, ya.

Wassalamualaikum warahmatullah.

T A K D I RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang