2. Photos

10.1K 344 4
                                    

Dian memandang layar komputernya dengan ekspresi yang tak bisa diartikan. Mungkin didepannya ini merupakan laporan progress perusahaan, namun pikirannya melayang entah kemana.

Samuel Wingsley.

Entah kenapa, selama beberapa hari terakhir, nama orang menyebalkan itu seolah berputar tak kenal waktu dalam otaknya. Ia berusaha untuk tak mengindahkan perkataan manusia aneh itu, namun entah kenapa, rasanya sulit.

Sebagai seorang Ardiani Winatama yang terkenal pendiam dan tak percaya tentang cinta, ini adalah peristiwa aneh selama 27 tahun hidupnya ini.

Seketika itu ponsel Dian berdering.

Rooney calling...

"Apa?"

"Seperti Dian yang biasa, nggak pernah ngomong 'halo' dulu kalo ngangkat telepon," jawab Rooney dari sebrang sana seraya terkekeh. Dian memutar kedua bola matanya malas, dan mengulangi pertanyaannya.

"We need to talk."

"And we did," balas Dian. Rooney terdengar menghembuskan nafasnya kasar, membuat Dian mengernyit. "Are you okay?"

"Yup. Yang nggak 'okay' itu elo, Babe."

"Emang gue kenapa?" tanya Dian heran.

"I said, we need to talk. Ketemu di Café Sinou jam makan siang. I'll wait you." ujar Rooney dan sambungan telepon putus seketika.

Itu orang kenapa, sih? Ditolak cewek lagi? tanya Dian dalam hati seraya menatap layar ponselnya.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk." perintah Dian. Seorang gadis manis terlihat membuka pintu itu, dia adalah sekretaris Dian.

"Ini, bu. Ada kiriman, entah dari siapa." Dian mengernyit ketika melihat sebuah amplop coklat besar yang disodorkan sekretarisnya itu. Dari Alpha team kali ya? pikirnya dalam hati.

"Yaudah, taro aja dulu disitu." ujar Dian seraya mengedikkan dagunya ke arah meja di depan sofa ruangannya.

Dian mengernyit ketika melihat amplop asing di atas mejanya saat ini.

Disana hanya tertera nama tujuan surat, tidak dengan nama pengirimnya. Bahkan di belakang amplop itu kosong melompong. Ia membuka amplop itu dengan rasa penasaran tinggi, dan matanya terbelalak seketika.

Amplop itu berisi sejumlan foto-fotonya beberapa hari lalu, saat ia sedang hangover di sebuah club malam bilangan Jakarta. Disebelahnya, nampak Rooney yang berusaha menyadarkannya, namun Dian terlihat tetap tidak sadar saat itu.

"Ck," Dian berdecak, "sialan! Siapa yang fotoin gue kayak begini?" umpatnya kesal. Ia melempar sejumlah foto itu hingga berserakan di atas meja.

Namun, ia melihat sebuah kertas yang ternyata terselip di dalam amplop itu. Segera Dian merogoh isinya, dan menemukan sebuah surat.

"Dear, Ardiani Winatama...

Lo pasti kebingungan dan ketar-ketir soal foto-foto ini, 'kan? Well, ini gak ada apa-apanya. Ini belum seberapa, Honey. Kita tunggu tanggal mainnya.

P.S : jangan heran ya kalo bokap lo tiba-tiba kena serangan jantung mendadak."

"Argh!" geram Dian kesal. Siapa orang yang berani melakukan ini padanya? Dan apa maksud dari P.S di surat ini?! Apa orang ini bermaksud untuk melaporkan tindakan Dian yang sebenarnya tak banyak orang ketahui ini?

Sebetulnya, Dian bukan tipikal wanita sosialita maupun wanita doyan hangover di klub-klub malam. Dia juga bukan wanita murahan. Dia seorang wanita dengan intelektual tinggi, dan cerdas. Namun tindakannya beberapa hari lalu itu karena dirinya sedang dirundung kalut yang luar biasa. Bahkan, Dian mengenal alkohol saja baru akhir-akhir ini. Itupun dari sahabatnya.

Segera ia mengambil kunci mobil dan tasnya secara serampangan, lalu keluar dari ruangan kerjanya.

"Kelsey, hari ini jadwal saya kosong, 'kan? Atau ada berkas lagi yang harus ditandatangani?" tanya Dian dengan nada datar, membuat Kelseyーsekretarisnya itu terlonjak kaget. Dengan bahasa tubuh profesional Kelsey menggeleng.

"Tidak ada, bu. Tapーloh, ibu mau kemana?" tanya Kelsey ketika Dian melesat pergi menjauh. Tapi Dian memilih untuk tidak menghiraukannya.

Dian segera keluar dari gedung pencakat langit yang mewah dengan nama Winatama's Group ini. Beberapa karyawan yang berpapasan dan menyapanya pun tidak ditanggapinya sama sekali. Ia harus memastikan bahwa ayahnya belum mengetahui tingkah putri semata wayangnya. Jika tidak, Dian pasti akan masuk kungkungan rumahーdan mungkin jabatan Dian sebagai CEO perusahaan terkenal ini akan dihapuskan seketika.

Dian segera menyambangi mobil Porsche silver miliknya. Hasil dari jerih payahnya sendiri, bukan dari bantuan ayahnya. Setelah memastikan seluruhnya siap, Dian segera keluar dari parkiran gedung dan membelah hiruk pikuk jalanan Jakarta yang sedang ramai macetnya.

***

"Napa lo? Muka lo kusut banget," ucap Rooney seraya menyedot Oreo Milky Way-nya. Dian mendengus.

"Harusnya gue yang nanya itu, woy! Lo ngapain ngajak gue kesini? Btw, lo udah tuir minuman lo masih aja kayak bocah," cibir Dian seraya mengutak-atik ponsel pintarnya. Rooney mengibas-ngibaskan tangannya di udara, seolah tak peduli dengan cibiran sentimentil yang diucapkan Dian.

"Sammy Wingsley itu... Siapa?" tanya Rooney dengan manik mata menyelidik. Dian terperanjak kaget ketika mendengar nama 'laknat' itu terucap dari bibir sahabatnya. Dian mendongak, membalas menatap Rooney.

"Eng-enggak tau."

"Jangan bohong, Darl. Dia siapa lo?" tanya Rooney, masih penuh intimidasi. Dian menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya berat. Kepalanya mendadak terasa pening.

"Lo tau dia darimana?" Dian balas bertanya. Rooney memutar kedua bola matanya malas.

"Jawab dulu bisa kali pertanyaan gue."

"Dia.... Argh! Dia musuh gue! Annoying person! Ayolah, jangan menghancurkan mood gue yang udah semakin hancur ini, Roon," pinta Dian dengan mata memelas. Sungguh, Dian betul-betul malas membahas pria tidak waras itu saat ini. Namun, kali ini dia masih bisa bernafas lega.

Karena, ayahnya belum mengetahui hal tentang kejadian di klub waktu itu. Lebih tepatnya, seputar foto-foto yang diambil oleh orangーyang entah siapa.

Rooney mendengus. "Okay. Kita bicarain dia lain kali. Tapi, please, Darl. Kalo lo ada masalah, cobalah berbagi ke sahabat-sahabat lo. Kita nggak ngerasa repot kok jadi tong sampah lo," ucap Rooney seraya tersenyum tipis. Hal itu menular kepada Dian. Entah kenapa, setiap melihat senyum tampan dari sahabatnya ini, mood Dian kembali baik seperti biasa. Senyumnya bagaikan sihir tak terlihat bagi mood Dian.

Tapi tetap, dia tidak merasa jantungnya berdegup kencang seperti apa yang orang-orang aneh itu katakan tentang jatuh cinta.

Setelah pesanan mereka datang, Dian dan Rooney menyantapnya tanpa kata. Mereka masih larut dalam pikiran masing-masing. Dian dengan sejuta pertanyaan tentang pengirim foto-foto itu, dan Rooney dengan pertanyaannya akan hubungan Dian dengan Sammy.

"Hey, sweetie. Gak nyangka gue ketemu lo disini," ucap seseorang dengan suara baritonnya yang entah kenapa terdengar merdu di telinga Dian. Suara itu mampu memecah pikiran Dian dan Rooney, hingga kedua orang itu menoleh ke sumber suara secara serempak.

Mata Dian terbelalak.

"LO!"

*****

The DictatorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang