5. Marry Me.

6K 286 9
                                    

"Jadi, mau lo apa sekarang?" tanya Dian tanpa basa-basi, sambil menatap tajam lawan bicaranya.

"Hey, santai aja, Sayang. Mending minum dulu deh, gue liat lo kecapean banget ke sini," balas Sammy seraya terkekeh.

Dian mendengus kencang. "Maaf ya Pak Samuel Wingsley yang terhormat, saya tidak memiliki urusan apapun dengan Anda. Jadi, bisa bapak jelaskan apa maksud Anda menelpon saya lalu memaksa saya ke sini?"

Lagi, Sammy terkekeh. "Santai aja, Ardiani. Kita 'kan udah nggak di kantor. Gak usah seformal itu lah sama gue."

Dian memutar bola matanya tak sabar. Tangannya terkepal di bawah meja, berusaha keras untuk bersabar dan mengikuti permainan yang dibuat sosok tampan di hadapannya ini. Um... tampan? Mungkin Dian terlalu pusing hingga dia menyebut si monster sialan ini 'tampan'.

Tangan Dian terjulur untuk meraih secangkir teh hangat yang diantarkan pelayan beberapa menit lalu. Ia menyeruput teh manis itu, berharap Sammy tak memberi obat-obat apapun ke dalam minuman itu. Yah, dia selalu berpikiran negatif terhadap orang ini.

"Ehm," Sammy berdehem, membuat Dian meletakkan kembali cangkir itu ke atas meja. Gadis berambut panjang itu menaikkan sebelah alisnya, merasa tak sabar untuk menunggu apa yang akan lelaki itu ucapkan.

"Gue tau lo pasti benci banget sama gue," Sammy berjeda sebentar. Matanya seolah menatap dalam ke dalam mata hazel Dian, membuat wanita itu sempat terpaku sebentar.

"Tapi, kalo pun bisa milih, gue juga nggak mau kali nikah sama lo," gerutunya meski terdengar cukup serius. Ingin rasanya Dian melemparkan tomat ke wajahnya. Emang gue sejelek itu, apa?!

"Sebenernya semua ini gue lakuin buat nyokap gue. Lo tau 'kan, bokap gue udah meninggal. Dan sekarang Cuma tinggal nyokap yang masih tersisa di hidup gue."

Dalam hati Dian menggerutu, nih orang kenapa jadi curhat? Perasaan gak ada yang minta dia buat curhat, deh. Tapi, kasian juga sih. Cuma gue udah terlanjur negative thinking, wajar aja kalo sikap empati gue dikit.

"Jangan pikir gue gak tau deh apa yang lo pikirin," ucap Sammy tiba-tiba membuat Dian terperanjat. Lelaki itu tersenyum kecil, manis.

Segera Dian menggeleng.

"Udah deh, to the point aja. Jadi, maksudnya apaan?" balas Dian mengalihkan pembicaraan.

Sammy menghela napas berat. Merasa ragu untuk mengatakan yang sebenarnya pada gadis dewasa di hadapannya saat ini.

"Sebelum bokap gue meninggal, dia pernah pesen sama gue. Kalo gue, sebagai penerusnya, harus memperbaiki hubungan antara keluarga Wingsley sama Winatama yang dulu pernah rusak. Dan dengan sekaratnya nyokap gue sekarang, nyokap juga ngingetin gue buat ngelakuin itu," Sammy duduk menyender, "dan katanya, sebelum nyokap gue meninggal, dia pengen ngeliat gue sama lo nikah."

Mata Dian terbelalak lebar. Entah sudah berapa kali Dian dikejutkan dengan berbagai ucapan lelaki ini.

"Nggak... mungkin," gumam Dian tak percaya. Menikah? Di usia dua puluh lima tahun? Memang, itu usia yang matang untuk Dian menikah. Tapi, 'menikah' adalah hal cukup terbelakang yang dia inginkan. Dia masih ingin bekerja, merintis perusahaan keluarganya, berkarir.

"Sekarang lo udah tau semuanya, 'kan?" Sammy menatap mata hazel Dian dengan serius. Entah kenapa, hal itu mampu membuat jantung Dian seolah berdebar.

"Aku mohon, Ardiani Winatama. Menikahlah denganku."

*****

The DictatorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang