7. Just Forget It

6.2K 273 13
                                    

Sebulan telah berlalu semenjak permintaan aneh itu. Dalam waktu sebulan pun, hidup Dian menjadi nyaman dan tentram tanpa gangguan dari Samuel. Pria itu rupanya menepati ucapannya—untuk tidak mengganggunya lagi.

Namun, semenjak itu, ada banyak perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Meski ingin menyangkal, namun Dian sempat merasa 'kehilangan'. Entah jenis kehilangan seperti apa yang ia rasakan.

"Di? Lo napa?"

"Eh? Gak, gapapa," balas Dian cepat lalu menoleh menatap jendela di samping kirinya. Saat ini ia tengah bersama Rooney, memata-matai Velia yang sedang berkencan dengan seorang pria asing.

Ini memanglah kegiatan yang biasa mereka lakukan saat Velia mengumumkan bahwa 'dirinya akan mempunyai kekasih baru'. Sejauh ini, Velia selalu mendapat pendamping yang salah. Di usianya yang menginjak 27 tahun, dia masih saja bermain-main dalam urusan pasangan. Padahal seharusnya, ia harus mulai serius saat ini.

"Lo ada masalah? Cerita lah," Rooney menyesap teh manisnya, "gue yakin otak lo lagi penuh. Kepala lo aja berasap gitu."

"Dih, apaan sih," Dian memutar bola mata malas. "Liat tuh, si Velia. Mupeng banget," tunjuk Dian ke salah satu sudut kafe, membuat Rooney ikut menoleh. Sebetulnya hal itu ia lakukan semata-mata untuk mengganti topik pembicaraan.

"Aha!" pekik Rooney pelan, "lo diem-diem mikirin si Samuel itu kan? Ngaku lo!"

"Nggak," elak Dian sebisa mungkin. "Ngapain gue mikirin dia? Udah gak ketemu aja rasanya bersyukur banget."

"Bersyukur apa galau?" Rooney terkekeh. "Jangan boong, Dian. Gue tahu, lo kangen sama dia. Keliatan tuh di mata lo. You aren't the perfect liar, baby."

"Ah, masa?"

"Iya! Udahlah, gak usah kayak anak remaja gitu deh. Gue tau semuanya dari si Velia. Lo dilamar kan ama dia?"

"Pale lo dilamar!"Dian menyentil dahi Rooney yang menatapnya mengejek, "mana ada orang ngelamar kayak gitu."

"Jadi, lo mau dilamar pake sebuah cincin berlian dan dia berlutut di hadapan lo? Yang romantis gitu ya?"

"Apaan sih lo! Mending gue dilamar ama Brad Pitt dah."

"Ih, Brad Pitt ganteng. Doi juga mirip dia kok, Di."

"Lah emang—EH?"

Dian terbelalak ketika mendengar suara seorang wanita di belakangnya. Ia menoleh, melihat Velia yang tersenyum—setengah menyeringai.

"Kalian pasti lagi nge-stalk gue kan? Hayo, ngaku!" ucapnya dengan gaya sewot.

"Yah, kita ketauan kan," balas Rooney sok menyesal, "lagian sih pake acara ada yang galau segala."

"Gue gak galau!" Dian menyangkal, meski dalam hatinya ia merasakan sedikit kehampaan. Ah, tidak. Ini hanya hipotesanya saja—mungkin.

"Lah, yang bilang lu galau siapa?" Rooney dan Velia tertawa.

"Ah, au dah!" pekik Dian menyambar tasnya, lalu pergi meninggalkan kafe. Kedua sahabatnya itu hanya mampu menatap kepergiannya dengan kening mengkerut.

"Lah, tuh orang kenapa?"

"Tau. Lagi pms, kali."

***

Dian mengemudikan mobilnya ke sebuah supermarket. Ia hendak membeli beberapa bahan makanan untuk mengisi kulkas di apartemennya. Ia memang lebih sering membeli fast food dibanding memasak sendiri, namun ia tak bisa membiarkan kulkasnya kosong melompong begitu saja.

"Kangkung ya... kangkung mana sih," gerutunya seraya mendorong troli ke sana-sini, mengelilingi vegetable section. Sayangnya ia tak kunjung menemukannya—atau ia tidak tahu di mana.

"Ini," Dian segera menoleh menatap trolinya yang telah terisi dengan kangkung.

"Thanks—eh?"

Dian menatap tak percaya terhadap sosok di depannya ini. Seorang pria dengan setelan baju kerjanya. Pria yang sempat menjadi isi pokok pikirannya beberapa minggu terakhir.

"Eh?" ulang pria itu lalu terkekeh, "kamu kenapa?"

"G-gapapa," sangkal Dian grogi. Ini aneh. Tidak seharusnya ia merasa canggung berada di dekat seseorang yang sempat membuatnya kesal.

Sammy tersenyum. "Hai...?"

"Ha-hai," balas Dian pelan. Loh, kok gue jadi kayak gini? Napa dah, gerutunya dalam hati.

"Apa kabar?" tanya Sammy masih dengan senyuman yang sama. Manis.

"Baik," jawab Dian sambil menatap Sammy, "lo sendiri?"

"Aku... baik. Mungkin?"

"Mungkin?" ulang Dian, yang dibalas kekehan Sammy.

"Udahlah gak usah dipikirin."

Keanehan lagi. Kenapa Sammy mendadak menjadi sosok yang hangat dan ramah seperti ini? Aku? Kamu? Kenapa bisa berubah seperti ini?

Banyak pertanyaan yang menggema dalam benaknya. Namun Dian hanya mampu tersenyum tanpa mengutarakannya. Biarlah pertanyaan itu terjawab sendiri nantinya—atau mungkin takkan pernah terjawab.

"K-kamu lagi ngapain di sini?" Dian yang merasa canggung pun mau tak mau ikut menggunakan bahasa aku-kamu.

"Oh, lagi nungguin sepupu belanja. Biasa lah, namanya juga cewek. Kalo belanja suka lama."

"Ooh," Dian hanya mampu membalas itu. Selebihnya, suasana canggung dan hening menyergapi.

"Kalo gitu, aku mau ke kasir dulu," pamit Dian secara tidak langsung. Sammy mengangguk.

"Oke."

Dian mendorong trolinya menjauh. Namun ketika langkahnya belum terlalu jauh, ia mendengar Sammy berucap sesuatu.

"Pertanyaan yang sebulan lalu itu... lupain aja. Aku gak maksa."

Lupain aja?

Kenapa kata-kata itu seolah menohok hatinya sendiri? Bukankah itu yang dia inginkan?

*****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 04, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The DictatorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang