4. Miss.

8.7K 308 5
                                    

"Nah, jadi saya harap, pihak dari perusahaan ibu mau membantu perusahaan kecil seperti kami ini. Bagaimana menurut Ibu Dian?"

Perlahan, Dian memijit pelipisnya. Sejak tadi pagi, kepalanya terasa pening dan berat. Itu karena ia tidak tidur semalaman. Hanya untuk mengurus beberapa hal penting.

"Ibu Dian?" ulang orang itu lagi, membuat Dian terperanjat kaget dan menjadi kikuk.

"E-eh, iya? Iya pak, saya dengar," balas Dian cepat, membuat bapak-bapak itu tersenyum kecil, "saya sendiri tidak masalah, jika Anda ingin membangun usaha di lahan itu. Tapi, itu masih milik pemerintah, bukan? Apa tidak ada tempat lain?"

"Saya rasa itu tempat yang cocok, Bu. Lagipula, di tanah itu hanya ada sebuah panti asuhan kecil. Kita cukup menggusurnya saja, lalu membeli tanahnya, dan membangun. Mudah," balas orang itu membuat dahi Dian mengernyit dalam.

"Menggusur panti asuhan? Maaf, tapi saya rasa--"

"Tidak masalah, Bu Dian. Saya yakin pihak panti tersebut akan setuju," potong orang itu cepat. "Ah iya, saya masih ada urusan di tempat lain. Sampaikan salam saya untuk Avriel Winatama, maaf saya tidak bisa bertemu dengannya minggu ini."

"Baiklah," Dian ikut bangkit, lalu berjabat tangan dengan relasi barunya itu. "Semoga kerjasama kita bisa berjalan lancar, Pak."

"Ya."

Sepeninggal orang itu, Dian kembali duduk dan memijit pelipisnya. Ia pusing bukan hanya karena kurang tidur, tapi juga soal Novan.

Jujur, meski malas mengakuinya, Dian masih memiliki secuil perasaan terhadap sosok itu. Bagaimana pun, Novan adalah cinta dan pacar pertama Dian. Pastilah sulit menghapus kenangan tentang cinta pertama, bukan?

Belum lagi dengan soal proyek baru yang mengharuskan untuk menggusur sebuah panti asuhan. Awalnya Dian ingin menolak, hanya saja dia sungkan. Menggusur sebuah panti asuhan adalah ide terburuk yang pernah dia pikirkan.

Karena Dian sendiri, pernah berada di sana.

***

"Kak Dian!" seru beberapa anak riang ketika Dian memasuki sebuah bangunan tua yang rapuh itu. Dengan kedua tangan membawa plastik ukuran besar, Dian berjalan masuk seraya tersenyum lebar. Meski terlihat secercah rasa lelah di wajahnya, dia menghapusnya dengan senyuman itu.

"Eits, sabar ya, satu-satu, oke? Semua pasti dapet, kok!" ucap Dian membuat anak-anak itu makin antusias memperebutkan mainan yang berada di dalam plastik besar itu.

"Dian," suara seseorang terdengar, membuat Dian menoleh dan tersenyum. Seorang wanita paruh baya dengan rambut yang mulai memutih menghampirinya.

Dengan penuh rasa rindu, dia mendekap sosok itu.

"Bunda..." ucap Dian. Wanita itu lantas tersenyum, dan memandang Dian penuh takjub.

"Bunda gak nyangka kamu udah sebesar ini, Di..." ucap sosok itu lirih, "padahal dulu, kamu masih kecil."

Dian tersenyum manis, lalu menyodorkan sebuah plastik lain yang ia bawa. "Ini buat stok makanan."

"Kamu gak usah repot-repot..."

"Gak apa-apa, Bun. Dian seneng kok ngasih kayak gini. Dian 'kan udah lama banget gak ke sini. Bagaimana pun, ini rumah Dian juga, 'kan?"

"Iya," Bunda Reni kembali mendekap Dian dalam pelukannya, seolah-olah Dian adalah anak kandungnya sendiri.

Suasanya di panti asuhan berlangsung ramai, dan nyaman. Anak-anak lainnya menghabiskan waktu dengan bermain mainan baru mereka. Sedangkan Dian, dia bercengkrama dengan salah satu perawatnya di panti asuhan ini dulu, Bunda Reni.

"Bun," panggil Dian tiba-tiba. "Dian masih penasaran, siapa orangtua kandung Dian," lanjutnya dengan suara sedih.

Dengan senyum keibuan yang lembut, Bunda Reni mengusap pelan bahu Dian. "Gak apa-apa, Sayang. Lagipula, kamu sudah bahagia punya ayah yang baik seperti Avriel, 'kan?"

"Memang. Hanya saja, Dian ingin tahu siapa sosok yang telah melahirkan Dian ke dunia ini. Dian masih...penasaran."

"Bunda ngerti. Semoga saja, suatu saat kamu akan bertemu mereka," Dian mengangguk. Belum sempat ia membalas, ponselnya berbunyi nyaring.

"Halo?"

"Ya, halo, Sayang."

"Siapa nih?!" mata Dian membulat kaget.

"Bukan siapa-siapa. Aku tunggu di cafe deket kantormu jam 7 malam. Kita masih harus membahas 'rencana' pernikahan kita, 'kan?"

Dian terperanjat. "Lo.... Samuel?!"

"Tepat," sosok di sebrang sana terkekeh, "aku tunggu, ya. Karena aku tidak suka menunggu."

Tut....tut...

Dian menggenggam erat ponselnya. Wajahnya berubah menjadi kesal. Ia menatap jam yang terpajang di dinding, dan menunjukkan pukul 5 sore.

"Bun, Dian pergi dulu ya. Ada urusan mendadak," ucap Dian tidak enak seraya menyalim tangan Bunda Reni. Bunda Reni tersenyum maklum, lalu mengangguk.

Sepanjang perjalanan, Dian terus mengumpat. Mau apa sih itu orang? Mentang-mentang udah punya saham di perusahaan gue, dia jadi besar kepala gitu. Pake ngajak nikah, pula! Emangnya dia gak laku, gitu?! 

*****

maaf kelamaan update + pendek. Aku juga aslinya kerja di real, jadi lupa kalo ada wattpad hehe. Kalo ceritanya makin kesini makin gak jelas, maklum ya. Otak author sudah lelah. Wkwkwk.

The DictatorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang