45 | Arti Sebuah Keluarga

166 29 48
                                    

“Nao, minggu depan aku dan Akira bakal nikah,” ucap Taka sambil menyentuh sisi makam Naomi. “Aku bukannya mengkhianati kamu, Nao. Tapi hidup harus berjalan ke depan. Aku nyoba jadi lebih bijak dengan bikin keputusan ini. Demi Hiro juga,” imbuhnya masih bercerita.

Taka memang datang kemari bersama Akira. Namun untuk saat ini, Akira ingin memberi waktu pada Taka agar bisa berbicara berdua saja dengan Naomi. Taka yang lebih berhak berbicara terlebih dulu, pikir Akira tadi.

“Nao, aku nggak tahu gimana cara ngomongnya biar lebih gampang. Tapi dengan pernikahanku sama Akira, bukan berarti aku bakal lupain kamu selamanya. Enggak, bukan gitu, Nao. Kamu tetep ada disini,” ucap Taka lagi sambil memegang dadanya, “nggak akan ada yang berubah. Hanya satu yang mungkin akan jadi pembeda. Masa. Waktu.”

Akira masih menunggu di tempat yang agak jauh. Perempuan itu tidak mau menguping pembicaraan calon suaminya dengan sosok pemilik hati yang pertama.

“Di masa lalu, kamu adalah pemilik hatiku. Tempatku berpulang. Tapi ternyata masa bersama kita telah habis. Tuhan ngambil kamu dari aku.” Dada Taka sedikit sesak mengingat bagaimana Naomi mengembuskan napas terakhirnya limabelas tahun silam. “Dan setelah kepergian kamu, aku punya masa-masa suram sendirian. Kemudian beberapa tahun selanjutnya, Tuhan ngasih sosok pengganti yang ngebikin aku jadi pengen punya masa depan yang lebih baik.”

Taka menggelengkan kepalanya. “Nao, aku berusaha ngomong lebih bijak dari yang kubisa. Aku berusaha ngomong dengan kalimat yang lebih tertata dari yang kubisa. Tapi kayaknya aku nggak bakat jadi pembicara bijak,” Taka menjeda ucapannya dengan terkekeh miris, “Cuma kalimat belibet gini yang kubisa. Tapi kupikir, kamu pasti tahu apa yang kubicarakan. Aku nggak berniat ngelupain kamu atau bahkan hapus kamu dari dalam hatiku. Sama sekali enggak. Tapi memang... akan ada orang yang lebih kuprioritaskan sekarang, Nao. Setelah kamu pergi, aku pelan-pelan mulai nyoba nata hidupku kembali dan belajar menerima bahwa masa kita emang udah habis. Dan sekarang, karena kehidupan terus berlanjut, aku akan ngelewatin masa dengan orang lain.”

“Aku cinta sama kamu, Nao. Tapi kamu udah pergi. Sementara aku masih hidup disini. Aku nggak mungkin selamanya terpuruk dan nangisin kepergian kamu. Aku harus bangkit dan hidup dengan lebih baik lagi. Jadi kuharap, keputusanku untuk ngelanjutin masa dengan Akira akan kamu restui.” Taka mengakhiri kalimatnya sembari menipiskan bibir, “Nao, terimakasih untuk semua pelajaran yang telah kamu beri. Aku akan berusaha jadi laki-laki yang lebih bijak lagi dari ini.”

Hembusan angin membelai surai Taka yang kali ini sudah sewarna arang. Jika kemarin-kemarin dia masih memiliki surai setengah pirangnya itu, kali ini tidak. Taka sudah mengembalikan warna rambutnya menjadi hitam kembali.

Menoleh ke belakang, Taka mendapati Akira yang sedang bersedekap sambil memandang ke sembarang arah. Taka tersenyum. Diperhatikannya baik-baik perempuan yang sebentar lagi akan resmi menjadi istrinya itu. Seolah sadar tengah diperhatikan, Akira menoleh ke arah Taka. Alisnya naik sebelah seolah sedang bertanya ‘ada apa?’ pada laki-laki itu. Dan ketika Taka justru menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, Akira tahu harus melakukan apa. Maka dengan segera, Akira melangkahkan kakinya menuju Taka.

“Udah?” tanya Akira kemudian ikut mendudukkan diri di sebelah makam Naomi.

Taka mengangguk. “Hm. Mau ditemenin apa ditunggu di belakang aja?” balas Taka bertanya. “Eh tapi aku nunggu di belakang aja deh. Kayaknya ada yang pengen kamu obrolin berdua aja, ‘kan?” Taka lantas terkekeh kecil. Pertanyaannya bahkan dijawab sendiri.

Akira hanya menipiskan bibir mendengar kalimat Taka. “Mas Taka nunggu di belakang aja, ya? Aku mau kenalan sendiri soalnya,” jawab Akira sedikit bergurau.

Baiklah, baiklah. Taka paham. Jadi, selepas menganggukkan kepala dua kali, dia membiarkan Akira mengambil waktunya bersama Naomi.

Beberapa menit Akira habiskan untuk memperkenalkan diri di hadapan Naomi, akhirnya dia sampai juga di pembicaraan inti. “Naomi, ada satu hal yang perlu yang kamu tahu. Bahwa sebesar apapun kasih sayang yang Hiroki kasih ke aku, aku nggak bakalan bikin dia lupa tentang siapa kamu. Mau bagaimanapun kenyataannya, kamu adalah Mama kandungnya. Aku nggak akan minta Hiroki lupain hal itu. Kamu mungkin udah pergi lebih dulu dari kami, tapi kamu tetep hidup di hati kami. Terlebih untuk Hiroki dan Mas Taka. Kamu akan tetep hidup di hati mereka,” tukas Akira di depan makam Naomi. Perempuan itu menceritakan tentang semua pengharapan dan juga isi hatinya. Bahwa sebesar apapun kasih sayang Hiroki yang dia berikan padanya, Naomi tetaplah Mama kandung Hiroki. Dan bukan hal yang baik jika Akira membuat Hiroki melupakan kenyataan itu. Tidak, Akira tidak mau jadi ibu tiri yang kejam.

Growing Up (Vol. 02)Where stories live. Discover now