35 | Seharusnya Tidak Perlu

191 27 91
                                    

Akira langsung berlari keluar rumah sesaat setelah membaca pesan Taka yang berbunyi bahwa dirinya sedang menunggu di depan rumah. Awalnya Akira pikir laki-laki itu hanya iseng mengerjainya. Namun pada akhirnya dia keluar rumah juga. Dan benar saja, Taka sudah disana. Berdiri menyender pada kap mobil sembari memasang senyum sejuta wattnya.

Akira menghampiri Taka sambil berusaha membasahi kerongkongannya terlebih dahulu. Tentu sambil berpikir. Kiranya kalimat apa yang akan dia ucapkan sebagai sapaan. Namun belum sempat dia bersuara, Taka sudah lebih dulu menyapanya dengan riang.

GOOD MORNING, SUNSHINE!!

Akira sedikit mendengus. “Sunshine Sunshine kamu kira saya merk sampo apa?”

Taka langsung tertawa mendengarnya, “Itu mah Sunsilk kali, Bu. Duh bisa ngelucu juga ya ternyata.”

Akira menatapnya malas.

Ditatap seperti itu, Taka hanya memberikan cengiran khas dirinya. “Lah kan namanya Bu Akira berarti bersinar terang. Ya udah dong kaya cahaya matahari jadinya. Sunshine. Cahaya juga di kehidupan saya hehehe.” Taka memang punya segudang kosa kata untuk menggoda Akira seperti ini.

Akira berusaha mengabaikan segala macam kalimat yang keluar dari mulut Taka. Menekankan pada otaknya sendiri bahwa semua yang Taka ucapkan sungguh tidak penting sama sekali. “Ngapain sih pagi-pagi kesini?”

“Ya mau ketemu lah. Kan kangen,” balas Taka kemudian terkikik sendiri.

Akira hanya memutar bola matanya. Sebuah gerakan yang kerap kali dia lakukan saat berhadapan dengan Taka. “Kalau nggak penting, saya tinggal,” ancamnya.

Taka tergelak. “Masa gitu aja marah, sih?” godanya. Tak lama setelahnya dia berdeham. Sambil mengulurkan sebuah plastik yang Akira tak tahu isinya apa, laki-laki itu berkata. “Ini buat Bu cantik.”

Kening Akira sedikit terlipat. “Apa?”

“Bubur ayam spesial buat Cantika.”

Akira bimbang. Terima tidak, ya? Tapi jika dia menolak, itu akan terlihat tidak sopan.

“Makasih, tapi buat kamu aja. Saya udah sarapan kok,” dustanya untuk menolak. Yah, seperti yang kita tahu. Seringkali perempuan memang memiliki rasa gengsi yang tinggi. Apalagi Akira. Sama seperti Taka yang memiliki kepercayaan diri setinggi Everest, Akira pun memiliki rasa gengsi yang setinggi itu juga.

Taka tersenyum. Kemudian dengan cepat dia mendekat ke arah Akira. Seraya mengambil jemari tangan Akira agar mau menerima pemberiannya, laki-laki itu berkata. “Nggak baik loh nolak niat baik seseorang. Saya nggak ada niat jelek kok. Saya cuma pengen ngasih sarapan ini aja buat Ibu,” ucapnya terdengar tulus. “Itung-itung sebagai rasa terimakasih saya karena kemarin lusa Bu Akira udah nganterin Hiroki. Hehe.”

Akira terdiam selama beberapa saat. Tatapan teduh serta senyuman itu sedikit mengganggunya. Selama dia berurusan dengan Taka, dia belum benar-benar bisa memastikan siapa sebenarnya Taka. Laki-laki itu kadang terihat cukup mesum, namun terlihat berwibawa di waktu yang berbeda. Dia konyol, seringkali bertingkah bodoh, namun juga bisa berbicara serius. Entahlah, Akira tidak tahu. Dan rasanya malas untuk mencari tahu. Jika ingat kejadian kemarin saat bersama Rose saja dia langsung kesal-kesal sendiri.

“Ya udah gih buruan masuk. Jangan lupa dimakan ya hehe.” Akira melupakan fakta bahwa tangannya masih bersentuhan dengan tangan Taka. Dengan segera perempuan itu menarik tangannya sendiri.

Taka justru terkekeh. Setidaknya plastik berisi bungkusan bubur ayam itu sudah di tangan Akira.

“Ya udah kalau gitu saya pulang ya,” pamit Taka seraya tersenyum. “Jangan lupa dimakan,” imbuhnya.

Growing Up (Vol. 02)Where stories live. Discover now