28 | Sebuah Kepercayaan

183 31 74
                                    

“Bu Akira ada perlu apa ya manggil saya kesini? Kangen ya sama saya?” tanya Taka kemudian menyengir lebar. Laki-laki itu sedang berada di ruang BK sekarang. Duduk berhadapan dengan Akira yang mukanya terlihat siap meledak kapan saja.

“Kalau segitu kangennya, kenapa nggak bilang aja sih, Bu? Kan tahu gitu tadi saya sempetin dateng ke rumah Ibu buat temu kangen, sekalian nganter berangkat ke sekolah gitu,” ucap Taka lagi masih sambil cengengesan. Toru yang duduk di sampingnya hanya bisa mengusap muka lelah. Tidak mengerti lagi dengan ulah sang sahabat yang sepertinya perlu dirukiyah dalam waktu dekat.

Ngomong-ngomong, Taka dan Toru memang datang ke sekolah untuk memenuhi surat panggilan yang Akira titipkan kemarin. Mereka berdua tidak datang bersamaan. Taka yang lebih dulu datang, kemudian disusul Toru. Sejujurnya, mereka berdua tidak benar-benar tahu apa duduk perkaranya sehingga diharuskan datang ke sekolah. Bahkan awalnya Taka tidak tahu jika ternyata Toru datang kemari juga, ke ruangan BK juga.

“Nggak usah kepedean deh jadi orang!” sahut Akira sedikit ketus.

“Saya udah pernah bilang kan sama Ibu waktu itu? Kalau Ibu jutek begini tuh cantiknya makin nambah tahu. Jadi gemes, pengen cepet-cepet halalin hehehe.”

“Tolong ya nggak usah bicara aneh-aneh. Ini ruangan BK, bukan tempat buat ngegombal!” Jawaban Akira semakin ketus.

Namun bukan Taka namanya jika bersedia mundur halus. Semakin diketusi, maka dia akan semakin melaju terus tanpa henti. Karena rasanya jika di depan Akira, fungsi rem Taka sudah tidak bisa berfungsi lagi. Entah kenapa. Mungkin alam yang tahu jawabnya.

“Iya, Bu, saya tahu ini ruangan BK. Kalau ini KUA mah udah pasti saya suruh Toru buat jadi penghulu kita, Bu.”

Toru memutar bola mata. Meski sudah bersahabat sejak lama, tapi rasanya cukup pusing juga mendengar gombalan receh Taka. Ini orang nyampah kenapa nggak tau tempat banget, sih? Batinnya berseru begitu.

“Tolong ya. Saya mau bicara serius,” geram Akira tertahan. Berusaha sekuat tenaga untuk mengenyahkan kekesalannya.

“Woah! Bu Akira minta diseriusin, nih? Ya udah ayo aja saya mah. Siap sedia saya, Bu. Mau kapan nih? Dimana?” Rupanya si Bakahiro ini memang tidak bisa ditolong lagi.

Melihat raut wajah Akira yang sudah tidak bisa santai lagi, akhirnya Toru turun tangan. Jiwa leader-nya meronta-ronta untuk memberikan pertolongan. Ya, setidaknya menetralkan suasana lah agar tidak penuh dengan gombal-gembel Taka seperti barusan.

“Tak, diem dulu bisa, nggak?!” suruh Toru dengan tatapan mata melotot. Horor.

“Apa sih, Pin! Ini gue lagi usaha mau halalin Bu Akira nih,” jawabnya enteng tanpa beban.

Karena gemas, Toru menoyor kepala Taka sehingga laki-laki itu sedikit terdorong ke samping. “Halalin pale lo! Lo tuh bisa nggak sih diem bentar aja? Kita dengerin dulu Bu Akira mau ngomongin apa sampe manggil kita kesini,” dumal Toru menahan geram.

“Ya gimana ya, Pin. Elo mah kaya nggak tahu aja orang jatuh cinta kayak apa,” jawab Taka mendramatisir keadaan.

Akira geram. “Saya mengundang kalian datang kemari bukan untuk meributkan hal yang tidak penting. Jadi tolong, saya minta waktunya sebentar saja untuk bicara serius,” ucapnya tegas, menghentikan perdebatan kecil diantara Taka dan Toru.

Toru baru akan meminta maaf saat Taka sudah lebih dulu berkata, “Lama juga nggak pa-pa kali, Bu. Malah saya pengennya berlama-lama sama Ibu. Hehehe.”

Merasa tak mampu berkata-kata lagi, akhirnya Akira hanya bisa menyodorkan ponselnya sendiri ke arah Taka dan Toru. Biar mereka melihat sendiri saja secara langsung, pikir Akira. Karena rasanya percuma berbicara di depan Taka. Sebelum Akira menyelesaikan kalimatnya, pasti laki-laki itu akan membombardirnya lagi dengan gombalan receh lainnya.

Growing Up (Vol. 02)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang