31 | Ada yang Salah

153 24 81
                                    

Dibanding mendengarkan materi pelajaran yang diberikan oleh Akira, Hiroki lebih memilih untuk mencoret-coret bukunya dengan asal. Di depan kelas, Akira masih berceloteh soal pengembangan kepribadian dan segala teori-teorinya. Namun Hiroki sama sekali tidak berminat untuk memperhatikan. Malas.

“Ter,” panggil Hiroki.

“Hn,” balas Teru tanpa menoleh padanya.

“Lo nggak bosen apa?”

Masih sambil menopang dagunya, Teru memutar kepala ke samping. “Hah? Paan?”

“Dari tadi lo diem mulu perasaan. Serius banget merhatiin pelajaran kayak anak rajin aja,” cibirnya. 

“Yeu. Gue mah emang anak rajin dari dulu, makanya pinter,” sombong pemuda itu.

Hiroki melengos, pura-pura tidak mendengar. Kemudian pada detik selanjutnya mereka kembali bungkam. Membiarkan Akira menjadi satu-satunya pengisi suara dalam kelas X-1.

“Ter.” Hiroki memanggil Teru lagi.

“Hn,” sahut Teru masih sama.

“Bolos yuk. Bosen gue,” ucap Hiroki seraya menghentikan kegiatan menggambar tidak jelasnya. Robot kucing berwarna biru yang bersanding dengan ultraman, kemudian awan-awan berarakan di atasnya. Dan pohon-pohon tumbang di bawahnya.

Teru menolehkan kepalanya ke samping. “Heh, kagak! Gue masih waras ya buat mau-maunya dijadiin samsak sama cewek lo.”

Sejujurnya tidak begitu juga, Teru saja yang berlebihan. Maksud pemuda itu adalah dia tidak mau jika nantinya akan kena omel Aime karena telah mengiyakan ajakan Hiroki membolos. Tengil-tengil setan begitu, Aime pantang melanggar tata tertib sekolah. Kecuali saat mengajak Hiroki membolos semester lalu.

Hiroki mendecak, “Tapi gue bosen sama guru di depan,” keluhnya.

Jeda sejenak sebelum akhirnya Teru kembali bersuara. “Lo masih belum baikan ya sama Bu Akira?”

Hiroki hanya mengangkat bahu untuk kemudian dijatuhkannya dengan cepat.

“Tapi bukannya Bu Akira udah minta maaf ya sama lo?”

“Iya. Emang udah. Tapi nggak gue maafin.”

“Lah? Kok gitu?” Teru sudah berada dalam mode ingin tahu. Kelas masih didominasi suara Akira yang menjelaskan materi. Beberapa menit sekali, salah satu siswa-siswi menyahut memberikan pendapat atau sekedar bertanya. Namun di bangku belakang, Hiroki dan Teru sibuk bercerita dengan volume suara yang dikecilkan.

“Gue lagi ngehukum dia. Biar dia tahu gimana rasanya bersalah karena udah nuduh orang sembarangan. Dia pikir gampang gitu maafin orang setelah bikin gue sakit hati gara-gara nyinyiran dia yang nggak jelas. Oke gue tahu gue cowok, jadi nggak seharusnya baperan. Tapi serius ya, dia tuh nyebelin banget kalau lo belum tahu,” celoteh Hiroki yang sibuk membicarakan kejelekan Akira di matanya―tentu saja dengan volume suara yang masih selirih tadi.

Teru geleng-geleng kepala. Tidak menyangka sudah sampai sejauh itu kebencian Hiroki terhadap Akira.

“Kena karma tahu rasa lo, Ki.”

“Gue udah nggak nonton karma ya.”

Tidak nyambung.

“Bodo amat!” Teru mendengus.

“Dibilangin juga.”

“Eh tapi, Ki,” Teru kembali menyela, “kalau lo keterusan dendam gini, yang ada malah lo capek sendiri. Udah lah damai aja, maafin aja. Toh Bu Akira udah minta maaf juga. Udah ngakuin kalau orangnya salah,” lanjutnya memberi nasihat.

Growing Up (Vol. 02)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang