29 | Permintaan Maaf

174 28 45
                                    

“Makanya lain kali Bunda itu kalau dapet laporan kaya gitu dicek dulu kebenarannya. Jangan langsung nuduh trus hakimin kalau mereka salah. Kalau gini kan Bunda sendiri yang repot. Malu kan jadinya? Udah bikin laporan ke kepala sekolah segala, eh ternyata cuma salah paham,” omel Chichi menggerutu.

Akira menggeram tertahan. “Kamu tuh dari tadi kenapa sih nyalahin Bunda terus? Yang namanya orang nggak tahu kan wajar kayak gitu,” elak Akira yang masih gengsi sekali untuk mengakui kesalahannya.

“Ya emang salah Bunda, ‘kan?”

Akira melengos.

“Makanya Bunda itu jangan terlalu negative thinking jadi orang. Kasihan tahu temen-temen Chichi. Lain kali kalau ada kejadian kayak gitu lagi, mending Bunda selidikin dulu kebenarannya baru bertindak. Nah, kalau emang udah bener-bener dapet bukti yang jelas kalau mereka salah, baru maju ke kepala sekolah,” ceramah Chichi lagi sok menggurui.

“Hebat banget ya sekarang kamu ceramah gini di depan Bunda,” sindir Akira kesal karena digurui oleh anak kecil macam Chichi.

“Untung tuh Teru gerak cepet buat nemuin buktinya. Kalau enggak pasti Bunda udah ngeluarin tuh si Hiroki sama Aime. Iya, ‘kan?”

Akira melengos lagi. Kesal sekali dengan segala tingkah Chichi yang menyebalkan. Sambil melipat tangannya di depan dada, perempuan itu bertanya, “Itu si Teru dapet dari mana rekaman cctv-nya? Trus gimana sampe dia bisa tahu kalau ternya―”

“Yaelah, Bun. Pacarnya Chichi itu pinter kali. Nggak cuma ganteng dan tajir doang, tapi otaknya juga jalan. Lancar kaya jalan tol,” kata Chichi bangga. Akira kembali melengos mendengar penuturan gadis itu. Dasar sombong!

“Ya udah, ya udah, sana balik lagi ke kelas kamu. Disekolahin mahal-mahal malah ngebolos gini kerjaannya. Bunda laporin Papa kamu habis ini biar kena tegur,” ancam Akira yang membuat gadis itu memasang wajah cemberut.

“Kelas Chichi kosong, Bundaaaaa, bukannya Chichi yang bolos. Hissshhh! Ya udah lah kalau gitu Chichi balik lagi aja ke kelas,” putus gadis itu kemudian bangkit dari duduknya, “Ah, satu lagi, mending habis ini Bunda minta maaf gih sama Hiroki sama Aime. Sekalian panggil Mirai juga buat kelarin masalahnya.”

“Bunda bisa selesaiin urusan Bunda sendiri, Chimeeeeng,” jawab Akira tidak bisa menahan lagi rasa geramnya, “Tanpa kamu bilangin pun Bunda tahu apa yang harus Bunda lakuin.”

Chichi mencebikkan bibirnya, “Ya cuma jaga-jaga daripada Bunda kebablasan lagi.”

“Ck, udah-udah sana pergi!” usir Akira sambil mengibaskan tangannya. Benar-benar menginginkan bocah perempuan bersurai pendek itu untuk segera keluar dari ruangannya.

“Iya, iya, ini Chichi keluar sekarang. Bunda bawel, ishh!” gerutu Chichi kemudian melangkahkan kakinya. Namun baru delapan langkah dia berjalan, gadis itu kembali membalikkan badan menghadap Akira, “Bunda jangan lupa minta maaf juga sama Kakaknya Aime, sama Papanya Hiroki juga,” ucapnya lagi sok menasihati. Dan tanpa menunggu jawaban dari Akira, Chichi buru-buru berlari keluar dari ruangan Akira. Sebab dia tahu bahwa Akira pasti akan kembali mengomelinya kembali jika dia berlama-lama disana.

Seperginya Chichi, Akira hanya bisa merutuk sendiri. Kesal-kesal sendiri, mengomel-ngomel sendiri. Arghhh! Semua gara-gara Chichi. Tanpa diberi tahu pun dia juga pasti akan meminta maaf atas kesalahannya. Tapi tidak detik ini juga. Dia masih terlalu malu rasanya.

Arghhhh!! Semua gara-gara Chichiiiiii!! Akira kembali merutuk dalam hati.

🍃

Siang hari setelah jam istirahat kedua, Akira termenung sendiri di depan ponselnya. Telepon tidak, ya? Telepon tidak, ya?

Membuang muka ke arah jendela, perempuan beriris gelap itu kembali dihinggapi rasa gelisah. Kembali melirik ke arah ponselnya sebentar, dia lantas mendecak pelan. Astaga! Kenapa dia jadi berlebihan seperti ini, sih? Tinggal menelepon dan mengatakan maaf saja apa susahnya, sih?

Growing Up (Vol. 02)Where stories live. Discover now