42 | Segalanya Tidak Mudah

149 25 67
                                    

“Jadi.. apa yang ingin Mas Taka ini bicarakan dengan saya? Kok kayaknya serius sekali,” ujar Katsuro Miyazaki atau yang lebih dikenal dengan nama singkat Om Zaki―mungkin juga Papa Zaki―dengan senyum yang cukup misterius. Ya, laki-laki berperawakan tinggi dengan garis rahang yang masih terlihat kokoh itu adalah Papa Akira.

Taka gugup setengah mati, tapi di sisi lain dia harus menyelesaikan misi ini. “Ehm, jadi maksud saya kemari, selain untuk berkenalan dengan Om dan keluarga adalah untuk mengatakan bahwa,” Taka menjeda ucapannya untuk meraup oksigen sebanyak mungkin. Setelah dirasa cukup untuk mengembuskan kembali napasnya, laki-laki itu melanjutkan, “saya mencintai Akira dan saya ingin menikahinya. Jadi tujuan utama saya datang kemari adalah untuk meminta izin pada Om Zaki. Apakah Om memberi izin jika saya ingin menikahi Akira?”

Meski telah berhasil mengatakan kalimat cukup sakral itu, entah kenapa kegugupan Taka masih belum mereda juga. Bukan, bukannya dia tidak yakin dengan apa yang baru saja dia katakan. Poin masalahnya bukan disitu. Yang membuat keresahan hatinya adalah pada jawaban Papa Akira. Apa yang akan laki-laki paruh baya itu katakan nanti? Bagaimana jika ternyata dia benar tak merestui keinginannya untuk menikahi Akira? Itu yang Taka pikirkan sejak tadi. Dan itulah penyumbang rasa resah terbesarnya akhir-akhir ini.

Kali ini giliran Om Zaki yang berdeham. Menatap Taka dengan sorot mata tegas, laki-laki berkacamata itu memberikan tatapan penilaian. Tidak lama, hanya empat detik mungkin. Setelah itu dia tersenyum lagi. “Mas Taka belum sholat Isya’ kan pasti?” tanyanya tiba-tiba, membuat Taka tertegun dengan segera. “Mari kita sholat berjamaah dulu. Setelah itu kita bicarakan lagi nanti.”

Taka meneguk ludah dengan susah payah. Seolah ajakan dari laki-laki di hadapannya itu adalah hal terberat yang harus dilakukan. “Disini, Om?” tanyanya bodoh.

Om Zaki terkekeh, “Ya nggak di ruang tamu juga maksudnya,” katanya mencoba bergurau, meski gurat tegas dan tajam tidak luntur dari raut wajahnya. “Kita sholat di dalem. Mari,” ajaknya kemudian bangkit dari sofa.

Taka hanya bisa meringis. “Sekarang banget nih, Om?” Masih dengan mode bodohnya, Taka bertanya dengan polos. Ah, sebenarnya bukan polos, dia hanya takut. “Kalau setelah kita ngomongin ini aja gimana, Om?” lanjutnya menawar karena merasa semakin takut.

“Ya iya sekarang. Nggak baik lho nunda-nunda ibadah,” beritahu sang kepala keluarga Miyazaki ini. “Katanya mau jadi calon imam, masa ibadahnya diolor-olor? Mau emang jadi contoh yang nggak baik buat keluarga?”

Aduh, Taka tersindir telak. Akhirnya mau tidak mau dia turut berdiri. Sambil meringis menahan gugup, dia menurut saja ketika Om Zaki menggiringnya untuk mengambil air wudhu, hingga kemudian mengajaknya ke sebuah ruangan berukuran 3x3 meter yang memang biasa digunakan untuk sholat berjamaah. Astaga, Taka membatin dalam hati bahwa seharusnya dia datang kemari bukan pada jam-jam seperti ini. Seharusnya agak nanti saja, pikirnya. Bukannya apa-apa, dia hanya merasa... aduh bagaimana ya mengatakannya?

“Makasih, Om,” ujar Taka ketika Om Zaki memberikan sarung berwarna navy lengkap dengan kopyah putihnya. Taka memakainya dengan segera―meski dengan tangan gemetar.

“Wahhhh seru nih seru. Om Taka aja yang jadi imam, kan suaranya Om Taka bagus. Ya nggak, Bun?” Sebuah suara semi melengking dari gadis bermukena hijau toska itu menyadarkan Taka bahwa dia tidak sendiri di ruang ini. Melainkan ada empat orang lagi, ah lima karena Kanata baru saja muncul sambil membenahi lipatan sarungnya. Yah, tentu bukan pemandangan aneh jika dua keponakan Akira itu akan berkumpul disini setiap akhir pekan tiba.

Taka menatap Akira yang juga tengah menatapnya. Keduanya saling berbicara dengan bahasa mata mereka. Saling menguatkan.

“Chichi ini sukanya nyerobot kalimat Kakek aja,” celetuk Om Zaki yang membuat Akira melirik Papanya was-was. “Tahu aja kalau Kakek emang nyuruh Mas Taka ini buat ngimamin sholat kita malam ini,” lanjutnya yang membuat lutut Taka melemas.

Growing Up (Vol. 02)Where stories live. Discover now