Lengan Damian menjulur untuk mengekang tubuh Vrilla. "Apa?" tanya Damian lembut, tatapannya teduh dan kini kian buat Vrilla bersalah.

"Gu- gue..." Vrilla terbata. Ia menunduk agar tak melihat ekspresi Damian. "Gue minta maaf." ia berucap parau.

Damian tercengang, tidak menyangka Vrilla akan meminta maaf secara tulus. Damian kira gadis itu akan bersikap angkuh seperti biasa dan tidak akan memerdulikan perasaannya. Entah kemana hari ini Vrilla pergi atau apa yang menghambat nya hari ini, Damian yakin Vrilla sepanjang hari memikirkannya. Terekam jelas dari bagaimana gadis itu berucap. Seberapa besar penyesalan Vrilla sebelum menemukannya hari ini. Apa mungkin wajahnya tadi pucat karenanya?

Ia tersenyum, meraih dagu Vrilla untuk mengangkat pandangan Vrilla balas menatapnya. "Gue maafin lo. Lain kali jangan pernah buat orang lain menunggu ya?"

Vrilla terpukau atas aura Damian yang sampai padanya. Lelaki itu mengerti dirinya. Bahkan, tidak peduli alasan apa yang buatnya sampai berucap seperti itu. Senyum diwajahnya terbit sebagai penguat anggukan meyakinkan.

"Jadi sekarang, sampai lo bisa ngerjain soal fisika, gue bakal tetap disini."

Damian terkekeh seraya mengacak-acak surai lembut Vrilla. "Kalo gitu ayo."

Damian dan Vrilla bangkit untuk pindah. Disana sudah ada beberapa buku, alat tulis dan beberapa cemilan. "Eh, Damian, kok rumah lo sepi. Pada kemana?" tanya Vrilla random.

Damian memerhatikan Vrilla yang sedang memilah soal. "Bokap sama kakak laki-laki gue kerja. Kak Kyara paling juga ngerjain tugas di rumah temen ato di kafe. Kalo nyokap tadi ada."

Vrilla menoleh, "nyokap lo ada?"

"Ada, tadi gue ketemu di dapur pas ngambil cemilan. Gue udah bilang mau belajar sama temen."

"Terus kata nyokap lo apa?"

"Yah sok aja, jangan kemaleman katanya."

Vrilla mengangguk-anggukan kepala paham. "Lo punya dua kakak?"

Damian menyangga dagu dengan lengan menatap Vrilla. "Iyah, kak Levi sama kak Kyara. Eh gue mau cerita boleh ga?"

Vrilla menggelengkan kepala sembari memberikan buku di tangannya. "Ga, lain kali. Sekarang kerjain ini coba. Ulangan lebih penting."

Damian mendengus malas lalu menatap soal yang di suguhkan Vrilla. "Kan gue bisa cerita sambil ngerjain." lelaki itu meraih pensil siap mengerjakan.

"Mana ada?! Yang ada nanti konsentrasi lo buyar. Cepet kerjain!" titah Vrilla memaksa. Damian terkekeh lalu mulai mengerjakan. Sesekali bertanya karena tidak mengerti.

Damian sebenarnya anak yang pintar hanya saja ia selalu kurang teliti. Apa lagi dalam pelajaran yang ada angka-angkanya. Rumus yang di jelaskan oleh guru selalu ia terapkan namun, sering kali ia tidak menemukan hasilnya. Jadi sebenarnya gurunya salah kasih rumus atau Damian yang kurang pintar mengerjakan?

***

"Damian, nomer 3 salah. Soalnya 2x kenapa lo tulis-"

Kalimatnya tertahan. Vrilla menemukan Damian tertidur di atas meja, tepat di atas bukunya sendiri. Senyum Vrilla terbit melihat Damian menggemaskan. Ia beralih pada ponsel Damian yang ada di sisi lain meja. Ia meraihnya lalu menarikan jemarinya disanah.

"Halo, Iyah ini saya Vrilla, Jemput saya pak, saya chatin alamatnya, Iyah, saya tunggu, kalo bapa udah sampe telepon balik ke nomer ini ya." Sambungan pun terputus.

Vrilla melirik Damian kembali. Lelaki itu terlelap tanpa terganggu. Damian memang sudah tau bahwa Vrilla tidak membawa ponsel, ia juga sudah meminjamkan ponselnya tadi waktu Vrilla ingin memberi izin. Ia tersenyum jahil, mengarahkan kamera ponsel pada Damian lalu memotretnya. Secepat kilat, Vrilla mengirimkannya pada nomornya sendiri lalu menghapus chat-nya agar Damian tidak tahu.

Ponsel di letakan dis isi lain meja. Vrilla menopang dagu dengan sebelah lengan dan lengan yang lain terjulur hendak menyentuh surai Damian. Perlahan mengusap, rambut Damian begitu lembut dan harum, Vrilla baru menyadarinya.

Vrilla memiringkan kepala. Ia menaikan semua poni Damian keatas. Lelaki itu jadi terlihat seperti anak nakal dengan dahi terbuka tapi tetap tampan. Vrilla menurunkan poni Damian hingga menutupi dahinya penuh. Damian jadi keliatan lelaki yang lembut dan dia tetap tampan.

Vrilla terkekeh saat membelah kedua poni Damian. Entah kenapa, melihat Damian dengan gaya rambut yang berbeda sangat lucu. Apa lagi Damian tidak bergerak seperti ini, dia tambah manis.

Lengkungan bibir Vrilla turun. Menarik garis lurus di bibir. Lengannya turun mengusap pipi Damian. Lembut dan hangat. Ia betah memandangi wajah Damian, apa lagi memegangi pipinya seperti ini. Kapan lagi Vrilla bisa bersikap seperti ini pada Damian. Mungkin ini pertama dan terakhir baginya. Ingat ia masih memiliki Kemal dan Damian terlalu jauh untuk di gapai. Terlalu banyak bintang yang menghalangi untuk sampai padanya.

Tiba-tiba lengannya menghangat, Damian menggenggam lengannya. Vrilla terkejut hendak menarik lengannya tapi Damian menahan. Kelopak mata itu terbuka, iris mata mereka menumbuk. Damian bangkit lalu tersenyum. Vrilla yang tadinya sangat malu dan ketakutan sekarang malah tidak bisa menahan tawanya.

Ia terpingkal-pingkal memegangi perutnya. Damian yang baru mengumpulkan jiwanya kebingungan. Ia meraba wajahnya sendiri tapi tidak menemukan apapun. Vrilla melihat gelagat Damian ingin tau, ia meraih ponsel Damian lalu memberikanya pada Damian. Damian berkaca di layar touchscreen ponselnya dan,

"Astagfirullah!" Damian berteriak. Tulisan yang ada dibukunya tercetak di pipinya juga.

Vrilla terus tertawa sambil memegangi perutnya melihat Damian bangkit berlari masuk ke dalam kamar mandi pribadi di kamar. Bertepatan dengan itu ponsel Damian berdering, di lihatnya siapa yang menelpon dan dapati nomer sang sopir.

"..."

"Iyah, pak. Tunggu, saya kesana."

***

Butuh waktu hingga proses menjadi hasil.
Sekiranya suka silahkan vote dan terima kasih. Penulis ini sedang belajar ejaan aiueo. Jadi maklumi pengerjaan naskah yang tidak sesuai. Betewe, typo bertebaran ya?
.
.
.

Apology [Completed]Where stories live. Discover now