Apology | 15

2.5K 258 2
                                    

Lelaki itu menghembuskan napas berat. Entah untuk keberapa kalinya ia melihat jam dinding besar disana. Jam sudah menunjukan setengah 5 sore. Berbeda jauh dengan pengharapan akan menghabiskan waktu bersama Vrilla seharian. Faktanya ia menghabiskan waktu seorang diri disana. Sendirian.

Damian salah, saat berfikir Vrilla akan datang walaupun langkahnya dihadang. Kembali kedalam kenyataan Vrilla tidak datang sampai waktu perpustakaan hampir tutup. Apa dia perlu menyerah? Menyerah saat setitik harapan mulai bersinar. Tidak! Damian tidak akan menyerah pada kehidupannya. Ia akan membuat garis takdirnya sendiri.

Tiba-tiba...

Seseorang melintas di ujung lorong tempatnya menginjakkan kaki. Damian yakin tidak salah lihat. Ia segera menutup buku di genggamannya lalu menyimpan kembali ke dalam rak. Kakinya melangkah lebar, tergesa-gesa untuk menemukan jawaban atas tebakannya.

Damian berdiri di ujung lorong melihatnya. Vrilla menyisir rambutnya kebelakang dengan jari. Napasnya memburu tat kala Damian yakin Vrilla tadi habis berlari. Entah, kenapa hatinya menghangat, senyumnya mulai mengembang.

Kaki lebarnya mulai melangkah. Menghapus jarak antara mereka karena Damian ingin sekali menggapainya. Namun,

Damian menepuk dua kali puncak kepala Vrilla. Sang empu mendongak untuk membalas tatapannya. Ia terlihat pucat, pipinya memerah, dan rambutnya berantakan. "La, lo sakit?"

Vrilla sekarang menjadi penjahat. Benar-benar jahat pada makhluk yang Tuhan ciptakan. Damian masih mau mengkhawatirnya disaat Vrilla pergi berdua dengan Kemal, melalui hari penuh di taman hiburan dan meninggalkan janji yang ia buat dengan Damian.

Vrilla ingin menjerit dan menangis sekarang. Tapi ia tahan dengan senyum pedihnya. "Maaf, gue terlambat."

Damian terkesiap. Senyum itu sangat manis namun terdapat luka terpancarkan. Ia bisa melihat jelas Vrilla memaksakan untuk tersenyum. Nyatanya, Vrilla tidak benar-benar bahagia datang ke perpustakaan menemuinya.

Vrilla tersenyum, memaksakan diri untuk bersikap biasa. Ia menepuk bahu Damian dua kali lalu melihat arlojinya. "Perpustakaan sudah mau tutup, kita pindah kerumah lo aja ya?"

Damian tidak langsung menjawab. Butuh waktu baginya mencerna suasana dan keadaan disana. Detik selanjutnya, Damian meraih lengan Vrilla. Menggenggamnya erat lalu tersenyum. "Lo yang minta ya."

***

Pluk...

Pantat Vrilla mendarat sempurna di atas ranjang empuk milik Damian. Kakinya menggantung ke bawah. Gadis itu mendekap jaket Damian yang sengaja sang seempu berikan padanya. Terasa harum menenangkan, perasaannya pun ikut tenang. Bukan karena harum jaket Damian tentang kehadiran Damian dihadapannya.

Vrilla menutupi mulutnya dengan bagian baju lengan kepanjangan. Ia memerhatikan Damian yang sedang membereskan lantai untuk di pakai mereka belajar. Kamarnya bersih dan rapih. Tidak seperti pada umumnya para lelaki jorok.

Damian menoleh untuk menatap Vrilla. Secara cepat Vrilla melarikan matanya pada daun pintu lalu pada langit-langit kamar, ia menghindari kontak mata dengan Damian. Jangan sampai ia terciduk kedua kalinya menatap Damian. Lain halnya Damian yang malah tersenyum memperhatikan gelagat gadis itu.

Vrilla merasa malu sekarang. Sudah telat dan dengan seenaknya mengubah jadwal tanpa berucap maaf. Setidaknya minta maaf bisa menghancurkan rasa bersalahnya. "Da- Damian?"

Damian menoleh lalu melangkah mendekat saat Vrilla mengibaskan lengan memintanya mendekat. Damian berhenti lalu bertekuk lutut demi menyejajarkan tatapan mereka tapi, kini bukan setara melainkan Damian lebih pendek dari pada Vrilla.

Apology [Completed]Where stories live. Discover now