Warning 18+ (Kalau emang mau dikasih peringatan)
Apa yang terjadi jika seorang bad boy paling tampan di New York harus menyaksikan seorang nerd girl pecinta puisi dihadapkan pada tuduhan pencurian CD eksklusif BTS yang terbaru?
Apakah Axel Jr. akan...
"Aku sudah merusak mobil Dad." Sumbat mulut Axel terbuka, meluncurlah sebuah kalimat yang diucapkan tanpa ada penyesalan sama sekali.
"Hanya itu?" tanya Will menekan emosinya rapat-rapat.
Axel tidak menjawab. Dia membuang muka, membuat Michael memandangnya khawatir. Pamannya itu tentu berharap dia bersikap seperti anak baik yang menyesal, tapi Axel sudah muak. Muak dengan ayahnya yang hanya muncul ketika dia berbuat masalah.
"Dad mendapat telepon dari kepolisian bahwa kau telah menyimpan heroin di dalam bagasi." Will melanjutkan kalimat sambil berjalan mendekati putra tunggalnya. Raut wajah yang biasanya tanpa emosi, menampilkan kekesalan. Dia sudah berusaha menahan diri selama ini dan berusaha mengerti kelakuan Axel sebagai fase dalam pertumbuhan tapi kali ini anaknya sudah keterlaluan.
"Aku tidak memakai benda itu. Uncle Michael sudah mengurus semuanya. Dad tidak perlu khawatir dengan reputasi Dad," balas Axel membalas tatapan Will tanpa mau mengalah.
"Jawab, Axel, apakah kau terlibat dengan geng?" Suara Will meninggi, menuntut jawaban.
"Kalau iya, Dad mau apa?" balas Axel menantang.
"Will," panggil Michael berusaha meredakan suasana yang memanas. Dia meraih pundak Will dan menahan gerakan pria itu agar tidak berada dalam jangkauan pukulan, tapi Will justru menepis tangan Michael dan terus mendekati Axel.
"Ayah tidak membesarkanmu untuk menjadi kriminal, Axel."
"Memangnya Dad pernah membesarkan aku?" Axel tersenyum sinis. "Jangan berlagak jadi ayah hanya saat aku bermasalah, Dad."
"Axel ...," desis Will sebelum dia mengambil napas untuk menenangkan diri. Pria itu menutup mata dan menghitung mundur tapi di tengah-tengah usahanya, dia menangkan ada langkah kaki. Will membuka mata dan mendapati Thea, ibunya sudah berada di sana.
"Axel! Will!" seru perempuan lanjut usia tersebut. Dia langsung berjalan menuju Axel. "Kau tidak apa-apa, Nak? Nenek dengar kau kecelakaan."
"I'm okay," jawab Axel, hatinya melunak. Dia tidak mungkin meninggikan nadanya pada sang nenek. "Nenek tidak perlu khawatir."
Thea menggelengkan kepalanya. "Tidak, kau harus dirawat. Aku akan menelepon dokter Anderson untuk datang bersama semua susternya." Thea kemudian sibuk merogoh tas untuk mencari ponselnya.
"Mum," panggil Will masih berusaha menahan emosi. Dia harus menyelesaikan masalah ini dengan Axel saat ini. "Aku masih berbicara dengan Axel."
"Bicara bisa nanti, Will! Kau tidak lihat anakmu terluka?!" sergah Thea masih berusaha mencari ponselnya di dalam tas jinjing Hermes. Dia baru saja tiba di salon langganan sebelum mendapat kabar tentang Axel yang membuatnya segera pulang.
"Mum, aku perlu bicara dengan Axel."
"Tidak, dia harus dirawat!" Thea mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi dokter keluarga mereka.
"MUM!" seru Will tanpa bisa mengendalikan intonasi suaranya. Sudah lama sekali dia merasa Thea menghalangi dia berbicara berdua dengan Axel.
Suara Will membuat semua gerakan di ruangan itu berhenti dan perhatian ke arah pria berusia lima puluhan tersebut.
"Letakkan telepon itu. Aku sendiri yang akan menghubungi dokter Anderson setelah aku berbicara dengan Axel." Nada suara Will tidak bisa dibantah. Nada yang dia keluarkan ketika berada di dalam rapat. "Aku dan Axel perlu bicara."
"Tidak bisa Will!" Thea masih berkeras. Jika ada yang bisa melawan Will, itu hanya ibunya. "Axel HARUS mendapat perawatan!"
"Tidak, Mum! Aku sudah berusaha bersabar dengan semua ini bertahun-tahun tapi Axel justru lepas kendali! Aku HARUS bicara dengan anakku!"
"Apa kau tidak lihat luka-lukanya! Kau tidak sayang pada anakmu!"
"MUM!"
"DAD!" seru Axel meninggikan suaranya. "Dad bisa berteriak kepadaku, tapi tidak kepada Grandma!"
"Axel, diam. Ini bukan urusanmu!"
"Tentu saja urusanku!" Axel menolak untuk mundur. "Selama Dad dan Mum sibuk di luar sana, Grandma yang menemaniku! Jika ada yang membesarkan aku, maka itu adalah Grandma!"
"Mum! Apakah Mum tahu kalau Axel menjadi pengedar Heroin?!" Will kehilangan ketenangannya. "Ini karena Mum terlalu memanjakannya!"
"Cukup, Dad! Jangan menyalahkan Grandma!" Axel mendorong Will hingga pria itu terhuyung, beruntung Michael menahan agar tidak sampai membentur perabotan.
Will segera bangkit dan berjalan menuju Axel lalu memukulnya tepat di wajah. Sial bagi Axel, tidak ada yang menahan tubuhnya hingga dia tersungkur di tanah.
"WILL!" seru Thea segera mendatangi Axel yang memandang tidak percaya pada sang ayah.
Seorang wanita yang masih cantik di akhir usia empat puluh tahunnya berjalan masuk ke dalam ruangan masih memakai pakaian kerja dengan pandangan heran sekaligus terkejut, mendapati anaknya terbaring di tanah dan suaminya yang terlihat murka.
"Apa yang terjadi?" tanya Mysha khawatir. "Will? Axel?"
Rasa marah sekaligus terluka menggelegak dalam benak Axel. Ketidakpercayaannya memuncak dan satu-satunya rasa bangga pada sang ayah pudar. Dia tidak bisa tinggal serumah lagi dengan pria yang tidak pernah menganggapnya ada, yang memukulnya.
Axel bangkit perlahan sambil menghapus darah yang mengalir dari bibir yang pecah. Dia menatap sang ayah tajam. "Aku menyesal menjadi anakmu, Dad!"
"Axel!" seru Mysha segera menghampiri anaknya, berusaha untuk menahan Axel yang hendak pergi. Namun dengan satu dorongan tangan, pemuda itu menyingkirkan sang ibu dari jalannya.
Pemuda berjalan pergi, keluar dari rumah yang telah menjadi tempat tinggalnya selama belasan tahun.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.