Warning 18+ (Kalau emang mau dikasih peringatan)
Apa yang terjadi jika seorang bad boy paling tampan di New York harus menyaksikan seorang nerd girl pecinta puisi dihadapkan pada tuduhan pencurian CD eksklusif BTS yang terbaru?
Apakah Axel Jr. akan...
Dicopy sama persis ke: 💖 THE BAD AND THE NERD 💖 💖 POSSESSIVE BAD BOY AND MY NERD GIRL 💖 💖 MY STALKER BADBOY 💖 💖 BADBOY'S LOVE 💖
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
"Aku tidak mau, Uncle Mike." Axel tetap pada pendiriannya, matanya memandang ke arah layar televisi di ruang tunggu kantor polisi.
"Ayahmu cepat atau lambat akan tahu. Jauh lebih baik bila dia tahu itu dari mulutmu." Pria berkacamata itu berusaha bernegosiasi. Mata cokelatnya memandang pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Aku akan menemanimu."
Axel masih ragu tapi dia tidak bisa berbuat banyak bila pamannya meminta. Efek Michael nyaris sama dengan efek Thea dalam hidupnya. Michael yang hangat dan tidak segan untuk membantu sudah menjadi sahabat di kala orang tuanya terasa jauh. Hanya saja, akhir-akhir ini pamannya itu lebih sering berada di luar negeri untuk pekerjaan. Untung saat ini dia dapat membantu Axel. Pemuda itu berpikir cepat, dengan adanya Michael, dia memiliki sekutu. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengaku pada William.
Dengan satu anggukan kepala, Axel setuju diantar Michael pulang. Pemuda itu digiring Michael keluar dari kantor polisi dan berjalan menuju mobil sedan berwarna hitam yang terparkir di luar. Dalam waktu empat puluh menit, mereka memasuki pagar besi terbuka secara otomatis, menuju sebuah rumah dengan taman luas berhiaskan bunga cantik dan pohon-pohon tertata apik. Michael menggerakkan mobil hitam itu ke bagian belakang rumah lalu meluncur ke parkiran bawah tanah, tempat beragam mobil mewah berjejer, lebih ke sebuah koleksi daripada untuk dipakai.
"Ayo," ajak Michael pada anak muda yang masih terlihat enggan.
Axel menghela napas sebelum mengikuti langkah kaki pamannya menuju lift yang membawa mereka ke ruang tamu. Sesuai dugaan Axel, William sudah menunggu di sana. Ayahnya itu melipat tangan di dada dan menatap tajam ke arah anak semata wayang walau ekspresinya tidak terbaca. Axel yakin penjaga gerbang yang membocorkan kedatangannya. Pertemuan dengan Will tidak pernah berjalan lancar. Entah sejak kapan, hubungan mereka berdua dipenuhi ketegangan dan amarah. Padahal, di sudut-sudut ingatan Axel, masih ada kenangan di mana ayahnya itu menemaninya menyusun Lego dan mengajarinya basket.
"Selamat pagi, Will." Michael membuka percakapan sambil menyalami. Kekakuan ruangan melumer sedikit walau Will tampak enggan berbasa-basi. "Bagaimana kabarmu?"
"Baik," balas Will kembali memandang tajam ke arah Axel.
Menyadari gelagat saudara iparnya, Michael tersenyum lalu menoleh ke arah Axel, memberi kode agar mulai berbicara. Keengganan bercokol kuat di pangkal lidah Axel. Selama ini dia memang ingin mendapatkan perhatian ayahnya tapi ketika Will menatapnya intens, rasa segan menahan suaranya. Michael menelengkan kepala, memberi kode sekali lagi.
Persetan!
Axel melepas semua keraguannya. Dia harus memuntahkan apa yang menjadi ganjalannya selama bertahun-tahun. Rasa bencinya pada kedua orang tua dan ketidakpuasan atas hilangnya mereka.