PROLOG

5.3K 288 13
                                    

-PEREMPUAN ITU-

***

Langkah kakiku semakin membesar mengikuti perempuan di depanku. Punggungnya yang terlihat kecil dan rapuh tidak akan mengelabuhiku lagi. Dia adalah ular. Mataku dengan mudah menangkap semua kebusukannya. Tubuhnya yang kecil hanyalah ilusi yang ia gunakan untuk menarik mangsanya. Namun aku tidak. Aku melihatnya dengan jelas. Bagaimana ular itu menjulurkan lidahnya ketika melihat sesuatu yang akan menjadi mainannya, sesuatu yang bisa memuaskan semua kebutuhan hasratnya. Ia perempuan rendahan dan aku berjanji tidak akan mengampuninya apapun yang terjadi.

Kakiku tiba-tiba berhenti ketika melihat punggung kecil itu sedikit menunduk. Langkah perempuan itu berhenti. Tangannya yang pucat dan putih bersandar pada pintu lift yang dingin. Tas kecil bewarna putih terjatuh dari tangannya, tapi ia terlihat bergeming, tak bergerak sedikitpun. Rambutnya yang disanggul kecil terlihat berantakan dan dari tempatku berdiri aku dapat melihat matanya tertutup menyedihkan.

Ada apa dengannya?

Perempuan ular itu tidak mempunyai emosi. Ia memang tidak membutuhkannya karena ia hanyalah seekor binatang. Tak lebih. Tapi kenapa perempuan kaku yang bahkan tak berkedip di hadapanku itu terlihat ... menangis. Ia menangis. Aku dengan jelas melihat air matanya jatuh. Berderai seperti memintaku untuk mencengkram wajah perempuan itu dalam genggamanku.

Tanganku mengepal erat. Merasakan amarah mulai menggrayangiku sekarang. Ia tidak boleh menangis di depan mataku seperti ini. Ia tidak berhak. Hanya aku yang bisa membuatnya menangis, dengan rasa benciku, siksaanku, dan hanya aku yang harus menjadi alasannya.

Setelah apa yang aku lakukan selama ini, ia bahkan tidak berkedip sedetikpun. Lalu sekarang? Berani-beraninya dia menangis tanpaku? Menangis bukan karenaku? Aku tidak mengijinkannya karena aku sudah mengutuk hidupnya. Perempuan itu adalah kekuasaanku dan menangis di belakangku adalah sebuah dosa.

Aku melangkahkan kakiku kembali ketika perempuan itu berjalan mendekati lift yang kosong. Wajahnya yang menunduk dan bekas air mata di pipinya membuatku ingin mencekiknya sekarang. Ia akan mati di tanganku. Merasakan jemariku bergerak di antara leher kecilnya dan membuatnya bergetar ketakutan. Memikirkan tentang itu membuatku tersenyum kecil, menyadari waktu telah mengubah perempuan ular itu menjadi perempuan kecil menyedihkan yang hanya dapat melihat kakiku sekarang. Karena dulu, aku bahkan tidak pernah melihatnya menurunkan pandangannya padaku. Sedikitpun.

Suara dentingan menyadarkanku bahwa aku berada di dalam lift berdua dengannya. Aku mengangkat kakiku sedikit ke belakang, sejajar dengannya. Membuat aroma percampuran antara mawar dan kopi hinggap di hidungku. Membuatku membuang kepalaku ke samping. Menghilangkan bau kotoran di hidungku. Aku membenci baunya. Aku membenci semua tentang dirinya.

"Dasar jalang," kataku singkat, menyadari tubuh ramping di sampingku sedikit menegang.

Aku meliriknya sekilas, bertemu dengan sepasang mata yang aku benci sepanjang hidupku ini. Sepasang mata emas yang melihatku dengan kilau kesedihan yang mendalam. Seperti memberitahuku untuk pergi dan membiarkannya menghirup udara dengan bebas tanpa kehadiranku lagi.

Aku mendekatinya, membuat tubuh kecil itu terperangkap di ujung lift kaca yang dingin. Matanya berair dan terlihat menyedihkan. Membuatku tersenyum kecil. Rupanya perempuan ular itu telah kehilangan racunnya. Hah, memangnya apa peduliku?

"Jangan menatapku seperti itu, Jalang!" Ucapku sambil menatap tajam perempuan yang masih memandangiku itu. Wajahnya yang pucat benar-benar membuatku ingin membenturkan kepalanya di dinding lift sekarang. Membuat kepala cantik itu retak di bawah kakiku dan kenyataan bahwa hanya aku yang dapat menyelamatkannya akan membuatnya lebih menyenangkan.

Suara dentingan lift kembali berbunyi. Pintu lift terbuka dan perempuan itu dengan perlahan meninggalkanku menuju parkiran. Kakinya yang di balut sepatu berhak tinggi membuat perempuan itu sedikit lebih tinggi dari biasanya. Menciptakan suara pertemuan antara hak sepatunya dan lantai dari langkah kakinya yang bergaung merdu di telingaku. Membuatku ingin segera menangkapnya dan membuatnya tidak bisa berjalan lagi. Mengurungnya dalam ruangan sepi dan mendengarkannya memohon dengan isak tangis untuk melepaskannya pergi. Tapi kaki perempuan itu terus berjalan tanpa menghiraukankanku. Langkahnya yang tenang membuatku sangat geram.

"Jangan mengabaikanku! Dasar jalang!"

Aku menangkap pergelangan tangan kecil yang sekarang ada di genggamanku. Merasakan suhu tubuhnya yang hangat mengalir di kulitku. Dengan tergesa-gesa aku menariknya menuju mobilku yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Melemparnya ke pintu mobilku hingga menimbulkan bunyi keras. Membuat tubuh berbalut kemeja kuning langsat itu terbentur dengan indah di mobilku. Ia meringis kesakitan tapi itu membuatku senang.

Dengan perlahan, aku mendekatkan diriku padanya. Menggunakan tanganku untuk mencengkram pergelangan tangannya hingga membuat tas putih kecil yang bersandar di tangannya itu luruh dari pundaknya. Lalu mencengkram lehernya dengan tanganku yang lain. Menahan keinginanku untuk mencekiknya karena jika itu terjadi, aku akan kehilangan alasan kenapa aku masih membiarkannya hidup.

"Menangislah! Menangislah seperti tadi!" Aku semakin mendorongnya dengan tubuhku. Memerangkapkan tubuhnya di antara mobil dan tubuhku. Takut jika aku terlalu kasar, aku akan meremukkan tubuhnya dan ia akan hilang. "Kenapa kau tidak menangis seperti tadi, hah? Apa ini kurang sakit? Apa aku perlu menghantamkan kepala cantikmu ini?"

Perempuan itu tetap menunduk. Aku tidak suka ini. Aku lebih suka perempuan itu menantangku dengan tatapannya, memperlihatkan kekuatannya. Bukan sembunyi dalam tubuh rapuhnya seperti ini. Aku mengangkat dagunya dengan kasar, membuat wajahnya mendongak di depanku. Merasakan hembusan nafasnya yang pelan dan hangat. Namun, perempuan itu tetap tidak menatapku. Ia menutup matanya. Dan itu membuatku marah.

"Hei, kenapa kau mendadak menjadi diam seperti ini?" tanyaku marah melihat perempuan itu tidak meresponku. "Ayo! aku antarkan kau pada bajingan sialan itu. Kita bertiga bisa bertemu dan aku akan menceritakan kembali kisah kita yang menarik agar kau mengingatnya, karena sepertinya kau sudah mulai lupa seperti apa bajingan yang kau cintai itu, Elena. "

Perempuan itu tersentak dan menatapku dengan kening berkerutnya.

"Tolong lepaskan aku sekali ini saja, Regan," kata perempuan itu lemah sambil menyentuh tanganku dengan jari-jari dinginnya. Membuatku dengan tidak sadar melonggarkan cengkramanku di tangannya. "Lepaskan! Aku ingin pergi."

Pergi? Kemana ia pergi?

Aku tidak akan pernah membiarkannya pergi karena perempuan itu harus membayar kesalahannya padaku.

Tapi, ada apa ini? Perasaan asing tiba-tiba menyergapku ketika melihat bibir perempuan itu bergetar di depanku. Membisikkan permohonan kecil agar aku melepaskannya. Perempuan itu dan airmata di wajahnya membuat hatiku seperti terbakar hebat. Menggelayuti perasaanku dengan erat.

Aku terdiam sejenak, ia hanya perempuan kecil yang rapuh dan entah kenapa, kini aku hanya ingin merengkuhnya. Sekali saja.

Tapi, kenapa aku melepaskannya sekarang?

Aku membiarkannya pergi. Hatiku tidak tenang melihat perempuan kecil itu menjauh dari pandanganku. Melihat perempuan itu melangkah cepat meninggalkanku, menyisakan malam yang mencekam menakutkan di setiap langkahnya yang tak berujung menjauhiku.

Membuatku takut kejadian dulu akan terulang kembali dan hidupku akan berakhir untuk mengulang kebencianku padanya. Perasaan yang sangat dalam hingga akhirnya menyekatku pada sebuah penyesalan.

Seperti dunia sedang menghukumku atas segala kebodohanku.

BELENGGU [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang