[41C] Segala yang Bukan

Start from the beginning
                                    

"Gue sayang dia, Lang. Dan gue gak mau kehilangan dia lagi."

Gilang menatapnya dengan senyum kecil. "I see."

"Tapi," Rena memejamkan mata. Ini bagian yang paling ia benci, bagian yang paling ia takuti. "Tapi gimana kalo dia pergi lagi?"

Senyum Gilang menghilang. "Apa?"

"Kita gak tau apa yang ada di depan sana, 'kan? Gimana kalo dia pergi?" Rena melepas pejaman matanya dan membalas tatapan Gilang. "Lo tau gimana rasanya, Lang. Lo yang paling ngerti rasanya ditinggal."

Gilang mengatup bibirnya rapat-rapat. Selama beberapa saat mereka hanya bertatapan, tidak ada kalimat yang saling tertukar, hanya seulas senyum yang kemudian Gilang tawarkan seiring ia mencubit pipi Rena dan tertawa kecil. Khas Gilang. "Terus lo mau apa? Menjauh dari dia?"

Rena menggeleng.

"Kepergian itu sesuatu yang pasti, dengan kepulangan yang menanti."

Tangan Gilang yang semula mencubit pipi Rena bergerak untuk mengusapnya sesaat, sebelum menjauh dan bangkit berdiri. "Haaahh, udah ah, gak usah galau-galau. Gue laper nih. Mie, yuk?"

Rena masih terdiam di tempatnya, menatap punggung Gilang yang kini bergerak ke dapurnya sambil meregangkan tangan dan menguap.

"Gilang ah, orang lagi serius juga," dengusnya, namun tetap bangkit berdiri dan mengikuti Gilang. 

Entah sejak kapan Gilang hafal seluruh bagian rumahnya. Laki-laki itu mengambil panci dari lemari dan mulai merebus air, seolah semua peralatan di sana adalah miliknya. 

Rena mengedikan bahu. Mulai melakukan bagiannya, yaitu menuangkan bumbu mie ke dalam piring, yang sedikit menantang karena gunting di rumahnya hilang entah kemana. Gilang akhirnya turun tangan, membantunya membuka bungkus bumbu dengan pisau. Sedangkan Rena beralih untuk mengambil telor dan—

"GILANG!" Rena berseru, disusul bunyi crackk familiar.

"AIH!" Gilang berseru sama kerasnya lantaran kaget. "APA SIH REN, TERIAK-TE..."

Rena menatapnya dengan mata membulat. "LIAT!"

Matanya mengikuti arah yang ditunjuk Rena.

"ITU TELOR TERAKHIR!"

Gilang mengangkat alis, menatap. "Kok gue sih?! Kan lo yang jatuhin!"

"Lo nabrak gue!"

"Lah gue kan cuma mau balikin pisaunya—"

"Ish!" Rena menatap telor yang kini sudah terbelah dua, berceceran di atas meja dan sebagian menetes di lantai. Sekilas ia merasa seperti deja vu, sebelum menoleh pada Gilang dan tertawa pelan.

"Apa?" Ganti Gilang yang melotot, sedikit horror dengan mood Rena yang tiba-tiba berubah. "Ren? Ren lo gapapa kan? Lo... otak lo gak ikut kebentur kan?"

Rena menggeleng, lanjut tertawa sampai terpingkal. 

Ia teringat bagaimana dulu Gilang memainkan telur terakhirnya ala sirkus sebelum menjatuhkannya tanpa sengaja. Ingatan tersebut memancing ingatan lain. Dan Rena mendadak rindu. Rindu bagaimana ia dan Gilang dulu. Rindu yang menyadarkannya bahwa waktu terus bergerak, tidak ada yang menetap. Mungkin suatu saat nanti ia juga akan merindukan saat ini. 

"Lang." 

Gilang menoleh, tanpa sempat menyahut sebab Rena langsung mencolek telor yang pecah tersebut dan memeperkannya ke hidung Gilang.

"Pengkhianat!" Gilang ikut mencolek telor tersebut dan berusaha menyentuh pipi Rena. Sekejap mereka larut dalam perang telur. 

"Gilang!" Rena tertawa, berusaha menutupi mukanya dengan berlutut di kolong meja.

Gilang, tanpa menyerah, ikut berlutut dan beralih untuk mengelitiki perutnya. 

"Ah, Gilang, ud— ahaha, udah, Lang!" Rena menggeliat. Gilang tidak mengenal ampun dan ikut tertawa bersamanya. Sampai suara dukk keras terdengar. Gilang otomatis berhenti dan menatap Rena dengan mata membesar. 

"Eh, Ren?!"

Rena mengusap kepalanya yang membentur meja sambil meringis. "Aww."

"Rena, sorry... sorry." Gilang buru-buru ikut mengusap kepalanya. "Sini, sini, gue tiup biar gak sakit."

Rena masih meringis, tetapi kemudian tertawa lagi seraya mendorong bahu Gilang menjauh. "Nooo, nanti otak gue terbang ketiup lo."

Gilang merngernyit. "Oh. Bagus dong, biar gue gak satu-satunya yang bego."

Mereka tertawa lagi. Entah untuk berapa lama. Sampai kemudian terdengar bunyi pintu terbuka dan langkah kaki. 

Rena mengerjap. 

Oh. 

"Rena?" suara ibunya terdengar.

Rena menjulurkan kepalanya dari kolong meja. "Yaaa!!"

Jika ibunya memikirkan hal aneh ketika melihat mereka duduk berdua di bawah meja, beliau tidak berkata apa-apa. Walau alisnya sedikit mengernyit dan matanya memicing.

"Airnya udah mendidih, tuh," ujar ibunya sebelum melangkah menuju kamarnya sambil menggelengkan kepala.

"Oh, iya." Rena merangkak keluar dari kolong dengan canggung, diikuti Gilang yang selama beberapa menit ke depan menghindari tatapannya.

Kata-kata laki-laki itu terlintas lagi di benaknya.  

"Kepergian itu sesuatu yang pasti, dengan kepulangan yang menanti."

Sambil mengaduk mie di dalam panci, ia mencuri pandang pada Gilang yang kini bersandar pada lemarinya dengan kepala menunduk menatap ponsel. 

'Kalimat itu berlaku sama lo juga 'kan, Lang?' 

Rena tidak menyuarakan pertanyaan tersebut. Namun pada saat Gilang mengangkat kepalanya dan membalas tatapannya dengan senyum kecil, Rena menganggapnya sebagai 'ya'.

***

[ RUR ]

2/3/19

Kangen Gilang - Rena.

R untuk RaffaWhere stories live. Discover now