[4] Yang Tersembunyi

7.1K 603 32
                                    

Kamu yang menjauh atau aku yang menarik diri?

***

"Kalian tulis di selembar folio, dengan rapi, dan kumpulkan ke saya hari ini."

Perkataan Bu Retta masih terngiang bahkan setelah empat jam sejak kejadian itu terjadi. Karenanya, Rena masih berkutat di kelas, menulis berbaris-baris kalimat dengan emosi mendidih. Kalimat 'Saya berjanji tidak mengobrol lagi di kelas.' sudah memenuhi lembar pertama, dan kini ia bergerak ke lembar kedua.

"Gue hampir selesai." Suara dari belakangnya membuat Rena mendelik.

"Gak nanya," sahutnya ketus.

Hanya mereka berdua yang masih berada di kelas, terhitung sudah tiga puluh lima menit sejak bel pulang sekolah berdering. Rena dan Gilang terjebak di sana dengan hukuman yang diberikan sang wali kelas tadi pagi —hukuman yang sesungguhnya lebih cocok untuk diberikan kepada murid SD.

Menulis kalimat perjanjian di kertas lembar folio? Di tahun 2016? Untuk anak SMA?

Kepala Rena semakin berdenyut karena kesal, tidak habis pikir dengan apa yang ia kerjakan sekarang. Ditambah lagi, wajah laki-laki yang membuatnya terjerat dengan hukuman ini membuat emosinya semakin mendidih.

"Lo baru pertama kali 'kan, dihukum kayak gini?" Suara dari belakang terdengar lagi. Rena diam tidak menjawab.

Gilang menghentikan kegiatannya. "Lo marah?"

Rena masih tidak menjawab.

"Ok, lo marah."

Suara klik pelan terdengar. Rena menutup bulpennya dengan kasar dan langsung bangkit berdiri serta menyampirkan tasnya ke pundak. Perempuan itu keluar kelas tanpa berkata-kata, disusul Gilang yang ikut melangkah beberapa meter di belakangnya.

Koridor sudah sepi dan suara ketuk sepatu mereka menggema. Rena berjalan cepat dengan langkah kakinya yang kecil-kecil, sedangkan Gilang tampak tenang dengan langkahnya yang lebar-lebar.

Lima menit setelahnya, tugas khusus mereka sudah berada di atas meja sang wali kelas dengan rapi.

"Mau gue anter pulang?" Gilang menawarkan diri selagi mereka masih berjalan di koridor lantai bawah menuju gerbang.

Rena menggeleng tegas. "No, thanks."

Gilang manggut-manggut.

Mereka melewati lapangan bola yang sedang dipenuhi dengan anak-anak klub basket dengan masing-masing mulut terkunci. Rena tidak berniat bicara sedangkan Gilang hendak menyampaikan sesuatu yang sedari tadi tertahan di ujung lidah.

Dan tepat sebelum mereka berpisah; Rena hendak menuju gerbang dan Gilang menuju parkiran, laki-laki itu memutuskan untuk menahan tangan Rena. Menyuruh si perempuan untuk tinggal selama beberapa waktu lagi agar ia bisa bicara.

"Apaan sih?" Rena sedikit menengadah, menatap Gilang yang lebih tinggi darinya dengan wajah malas.

Kalimat yang sedari tadi tertahan itu akhirnya keluar. "Gue gak tau apa yang ada di pikiran lo, tapi gue cuma mau nanya satu. Lo marah gara-gara gue atau gara-gara Raffa?"

Gilang yang sudah mengenalnya selama lima tahun memperhatikan perubahan ekspresi Rena, menyadari ada kilat lain di mata perempuan itu. Sebuah kilat yang tidak Gilang paham —tapi ia sadar, ini bukan kali pertamanya ia mendapati hal itu di mata Rena. Ada sesuatu yang berbeda, tetapi Gilang tidak tahu apa. Sesuatu antara kecewa dan sakit hati.

"Lo cuma jadiin gue pelampiasan amarah?" Gilang bertanya lagi.

Dan persis sedetik setelah itu, Rena menepis tangan Gilang dan berjalan menjauh. Tanpa berkata-kata.

***

"Woy, lo kenapa?" Sebuah tangan menepuk pundaknya, membuat Gilang terpaksa menoleh untuk bertemu pandang dengan Dimas —temannya yang paling mengerti mimik wajah Gilang.

"Cerita ajelah, gak usah sok-sok mendem." Dimas mengupas jeruknya selagi Gilang menghisap rokok.

Laki-laki itu akhirnya mendengus kasar, membuang puntung di tangannya dari atas balkon. Membuat alis Dimas berjengit.

"Itu jatohnya ke kolam gue, sat," katanya sambil menunjuk rokok Gilang dengan dagunya—lintingan tersebut sedang terjun bebas ke dalam kolam ikan yang memang kebetulan terletak di bawah balkon kamarnya. Tetapi laki-laki itu tampak tidak peduli.

"Lo tau Raffa?" tanya Gilang.

Dimas lantas mengernyit. "Gue harap cuma ada satu Raffa di dunia," jawabnya sarkastik.

Tangan laki-laki itu terangkat untuk menyugar rambutnya yang sudah agak kepanjangan sambil mendengus, lagi. "Anak baru yang sempet bikin heboh itu."

"Oh. Yang dari Singapura?" Dimas manggut-manggut. "Tau. Emang kenapa?"

Terjadi jeda sejenak. Gilang menatap ke bawah lurus-lurus sebelum beralih membalas tatapan Dimas. Ia masih diam selama beberapa detik sebelum akhirnya menggeleng. "Kaga apa-apa."

"Lah?"

"Nanya doang, cuk."

Dimas melepehkan biji jeruk ke tangan kiri, lalu mengambil sebuah lagi dari kantong celananya. "Mau?" tawarnya pada Gilang yang langsung direspon dengan gelengan.

"Gua mau keluar dulu," kata laki-laki itu.

"Kemana?"

"Cari angin."

"Mau gua tiupin aja?"

"Ye bangsat." Gilang mendorong bahu Dimas, terkekeh hambar. "Gua keluar ya."

"Tutup lagi gerbang gua!" teriaknya ketika Gilang sudah sampai di ambang pintu, menarik perhatian Kevin dan Geka yang semula asik bermain game.

"Kemane dia?" tanya Geka sedetik setelah Gilang menghilang dari balik pintu.

Dimas menggedikan bahu. "Mau cari angin katanya. Kocak."

Kening laki-laki yang masih terbalut seragam putih abu-abu itu mengernyit, sama seperti Dimas ketika mendengar pertanyaan Gilang beberapa saat lalu. "Tumben. Biasanya mageran," sahutnya tanpa melepaskan pandangannya dari laptop. Ia sedang melakukan pertarungan sambil menggerak-gerakan mouse-nya dan jemari di atas keyboard.

Dimas menggedikan bahu. Tangannya mengupas jeruk yang kedua. "Lo tau Raffa?"

"Raffaendra Aidan Giovanno? Dia kan—"

"SIALAN KEPALA GUA DITEBAS!!" Suara Kevin menyentak, merujuk pada karakter game  yang sedang ia mainkan.

"Sukurin," balas Dimas kalem. Ia hanya mengunyah jeruknya dengan santai, sama sekali tidak bersimpatik, apalagi berkabung.

Sedangkan Geka, di sisi lain, memutuskan untuk lebih fokus agar tidak bernasib sama dengan Kevin.

"Yang kalah wajib makan jeruk bekas kunyahan gua." Dimas menyengir lebar, keduanya lantas bergidik.

***

RUR

13/09/16

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang