[24] Pada Satu Titik Temu

3.4K 356 36
                                    

At the end of the day, I realized that you are all I want,
but not what I need.

***

Langkah Rena melambat begitu ia tiba di taman belakang rumah sakit. Ponselnya masih berada di tangan kanan, melekat pada telinga. Pertanyaan Raffa dari ujung sana membuatnya berpikir sejenak. Alih-alih memberi jawaban ya atau tidak, ia malah bertanya, "Kenapa?"

Dehaman Raffa terdengar. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah Raffa sama gugupnya dengan dirinya.

"Kita tampil tinggal hitungan hari, lo gak lupa 'kan?" sahut Raffa. "Kita harus latihan, seenggaknya sekali."

Rena menggigit bibir bawahnya, tanpa sadar mencengkram ponsel lebih erat. "Oke," jawabnya. "Tapi bukan itu pertanyaan gue."

"Maksud lo?"

Kakinya sudah berhenti melangkah, kini tubuhnya bersandar pada salah satu pohon di pinggir taman. "Kenapa gak masuk?"

Raffa diam sebentar sebelum menyahut, "Oh," dengan amat pelan. Laki-laki itu berdeham lagi, disusul hening sejenak. Lima detik berlalu tanpa jawaban, namun Rena sabar menunggu.

"Kemarin gue ada urusan," kata Raffa akhirnya.

Rena tertawa. Ia benar-benar tertawa, tawa pahit. Matanya menahan tangis.

"Gue gak ngerti, Raf," katanya. "Lo— gimana caranya lo bisa bersikap kayak nggak ada masalah?"

"Masalah apa?"

"Gue mau mengundurkan diri dari lomba musikalisasi puisi."

"Hah?"

"Mungkin Sekar mau gantiin gue."

"Ren—"

"Gak usah khawatir. Lo masih tiba tampil. "

"Rena!"

Napasnya memburu. Matanya terpejam sesaat, mengusir air mata yang mengaburkan pandangannya. Tiga detik tanpa suara, seolah hiruk-pikuk dunia tenggelam ke dalam satu pusaran besar. Dan suara Raffa kembali terdengar, kini lebih tenang dan hangat. Kehangatan yang justru membuat Rena menggigil.

Menggigil atas kesadaran betapa hatinya telah membeku selama ini.

Rena tidak menghitung berapa lama berapa saling terdiam hingga Raffa bilang, "Mungkin, untuk hari ini, bukan latihan yang kita butuhin." Sela dua detik. "Ekhm, ... mau ke taman tempat kita main dulu, Ren?"

Dan ia bersumpah, ia sama sekali tidak memahami Raffa.

"Mungkin kita bisa bahas apa yang belum kita bahas," kata laki-laki itu."Mungkin kita bisa mengungkap apa yang selama ini belum terungkap."

Rena tidak bisa meminta lebih.

Matanya kembali terpejam. Dihembuskannya satu napas panjang. "Dua jam dari sekarang," sahutnya lirih, sebelum memutus sambungan.

Ia masih ingat jelas perkataan Dhysta di ruang musik. "Mimpi dia, harapan dia, cita-cita dia, semua hancur karena lo."

Rena tidak mengerti. Lebih tepatnya, Rena takut untuk mengerti. Rena takut jika selama ini, dirinyalah yang buta terhadap kenyataan. Bahwa dirinya sendiri yang bersalah, atas semua yang sudah terjadi.

Insiden tiga tahun lalu itu, kenapa Rena bisa lupa? Kenapa Rena bahkan tidak ingin berpikir lebih jauh? Dan kenapa Raffa bahkan tidak pernah mempermasalahkannya? Atau mungkin, belum. Mungkin nanti, ia akan membicarakannya. Menjabarkan semua kesalahan Rena. Dan meminta ganti rugi, yang entah bagaimana Rena bisa membayarnya.

R untuk RaffaWhere stories live. Discover now