[39] Hati yang Tersesat

2K 140 16
                                    

Dan beberapa hal yang ditakdirkan untuk bersama,
tidak ada yang menjamin akan berlangsung selamanya.

***

Aroma karamel dan kopi berpadu begitu Rena menjejakkan kaki ke dalam lounge bioskop. Entah kapan ia terakhir kali menonton film layar lebar, Rena tidak begitu ingat sebab ia bukan penggemar. Namun ketika Raffa yang mengajak, entah kenapa, Rena tidak bisa menolak.

Atau mungkin, Rena tahu kenapa. Namun menolak untuk mengaku.

Matanya beredar menatap wajah-wajah asing yang memenuhi kursi-kursi panjang lounge, sampai akhirnya berhenti di satu sosok familiar, yang sedang menunduk menatap layar ponsel. Tangan kirinya memegang sekotak besar popcorn.

Rena tertawa kecil, tidak menyangka akan melihat sosok Raffa yang sudah berubah drastis selama beberapa tahun ternyata masih bisa terlihat seperti lima tahun lalu. Ketika Raffa pertama kali mengajaknya ke bioskop untuk menonton Ice Age: Dawn of the Dinosaurs dan tidak sengaja meninggalkan kotak popcorn-nya di kursi lounge sebelum masuk ke dalam ruang teater.

Rena berjalan menghampiri Raffa, duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa. Satu notifikasi kemudian masuk ke dalam ponsel,

Raffa: Dmn?

Dentingnya ponselnya cukup keras, membuat Raffa menoleh, detik itu ia langsung tersenyum lebar. Senyum yang kemudian menular pada Rena.

"Kok gak bilang-bilang sih." Raffa mendengus pura-pura kesal, namun matanya tidak bisa berbohong.

"Lo-nya aja yang gak sadar," balas Rena. Kemudian menunjuk popcorn di tangan Raffa. "Nanti jangan ditinggal lagi ya."

Rena bisa melihat pipi Raffa memerah sebelum keduanya tertawa.

"Gaklah, gue udah gak sebego dulu." Raffa menyodorkan popcorn-nya pada Rena. "Alias, gue tau kalo ini lebih baik lo yang pegang. Sebelum kejadian kayak dulu keulang."

Rena masih tertawa sambil mengambil alih popcorn di tangan Raffa. Mengecek sekilas jam pada arloji di tangannya. "Masih ada waktu setengah jam. Lo udah pesen tiketnya 'kan?"

Raffa mengangguk. "Finding Dory, 7.15 PM. Lo mau makan dulu?"

"Gue udah makan." Rena menimbang-nimbang. "Tapi ada yang mau gue beli."

"Yaudah, ayo." Raffa menegapkan tubuhnya, tanpa sadar mengulurkan tangan untuk membantu Rena bangkit berdiri.

Rena menatap uluran tersebut dengan bingung sebelum Raffa akhirnya sadar, dan langsung mengusap leher dengan pipi kembali memerah. "Gue—"

"Ayo." Rena bangkit berdiri sendiri, memutuskan untuk mengabaikan gestur canggung Raffa dan berjalan di depannya tanpa banyak bicara. Ia masih ingat tujuan utama mereka ke sini. Rena tidak mungkin lupa. Tetapi sebagian dari dirinya masih ingin menikmati saa-saat seperti ini. Saat sebelum Raffa menjelaskan apa yang harus ia jelaskan. Saat sebelum Raffa—mungkin—akan membangun kembali dinding kokoh di antara mereka.

"Lo mau beli apa?" Raffa memecah kecanggungan mereka dan memutuskan untuk berjalan di samping Rena.

Rena menoleh. "Ulang tahun Gilang sebulan lagi, gue mau siapin dari sekarang."

Raffa mengerjap. "Oh." Matanya menatap gadis di sebelahnya yang kemudian membuka entah apa di ponselnya sambil tersenyum kecil. Ia tidak bertanya apa-apa lagi setelah itu. Membiarkan Rena memimpin jalan mereka berdua menuju toko kerajinan tangan di lantai dasar.

Raffa tidak memiliki ketertarikan khusus pada alat dan bahan kerajinan tangan, maka satu-satunya yang menarik perhatiannya di sana hanya gadis yang berdiri di sebelahnya. Rena. Dengan alis berkerut, jemari mengetuk-ngetuk dagu, dan kaki melangkah dari satu sisi toko ke sisi yang lainnya. Raffa tidak tahu apa yang berada di pikiran Rena. Tetapi ia bisa melihat Rena sedang berpikir sungguh-sungguh, tentang kadonya untuk Gilang. Dan Raffa tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mengingat percakapannya dengan si laki-laki di kelas tadi.

R untuk RaffaWhere stories live. Discover now