[17] Pintu Ruang Hati

4.2K 375 13
                                    

You're covering your face now
But you just can't hide the pain

– The Script

***

Hujan turun begitu deras, tetapi payung tak bisa melindungi dirinya. Sebab air itu turun dari matanya; membasahi pipi, membasahi kenangan. Andai masa lalu bisa dikunci rapat-rapat pada suatu ruang di hatinya, maka Rena sudah melakukan itu sedari dulu. Agar memori enam tahun lalu tidak terus-menerus terbayang di benaknya.

Enam tahun lalu, adalah tahun kepergian ayahnya dan tahun kedatangan Raffa.

Enam tahun lalu, adalah saat Rena kehilangan dan kembali menemukan rumah.

Dan sejak enam tahun lalu, Rena percaya bahwa kepergian adalah sesuatu yang pasti. Sesuatu yang tak dapat dihindari, tak dapat dipersiapkan, tak dapat diobati. 

Raffa dulu memang memainkan peran sebagai teman yang baik untuk Rena. Raffa berjanji untuk berada di sisi gadis itu, berjanji untuk tetap tinggal, dan berjanji untuk melihatnya memainkan piano di panggung.

Tetapi kepergiannya yang tiba-tiba telah meninggalkan kekecewaan yang begitu berat. 

Rena tidak tahu apakah kepergian Raffa adalah sebuah jeda atau akhir. Apakah Raffa pergi untuk selamanya atau pergi untuk kembali. Tidak ada pamit yang terucap, tidak ada salam yang tersampaikan. Jika mereka sempat berkata-kata sebelum berpisah, akankah Raffa mengucapkan "Sampai jumpa lagi" atau "Selamat tinggal"?

Kenyataannya, Raffa memang kemudian kembali. Namun laki-laki itu terlihat sama, tetapi tak lagi terasa sama. Laki-laki itu benar perihal mereka yang kini telah menjelma orang asing.

Mungkin karena itulah, Rena tidak lagi berharap apa-apa dari Gilang. Rena telah memutuskan untuk menutup pintu ruang hatinya, agar tak lagi ada orang yang datang dan pergi tanpa niat untuk menetap.

Sayangnya... Rena mulai tak yakin dengan prinsipnya sendiri. Seakan ada orang-orang tertentu yang bisa menyelinap dengan begitu handal, dan diam-diam mengisi kembali ruang hati yang kosong.

***

"Raf, sori baru ngasih. Abis gue salin ulang, tadi basah karena kena hujan." Rena menyodorkan secarik kertas berisi puisi yang sudah dibuatnya dengan Sekar. Tanpa sadar tangannya bergetar karena gugup, namun sebisa mungkin Rena tampak percaya diri. Kemejanya masih sedikit basah karena terguyur air langit satu jam lalu. AC tidak membuatnya kering seperti sedia kala.

Raffa mengambilnya dan bergumam, "Thanks." Hanya itu.

Rena beringsut kembali ke tempat duduknya dan berusaha keras berkonsentrasi pada materi yang ditinggalkan guru fisikanya sebelum pamit rapat. Suara Gilang yang tertawa-tawa berisik dengan Dimas membuat usahanya gagal terus.

"Ren."

Bahunya menegang.

Selama beberapa detik otak dan batinnya beradu pendapat antara menoleh saja atau berpura-pura tak dengar. Refleksnya menang. Ia kontan menoleh dan menyahut dengan suara nyaris berupa gumaman, "I–ya, Raf?"

"Gue boleh ganggu lo bentar?" Untuk sepersekian detik, Rena yakin bahwa Raffa ternyata juga terdengar canggung. Mata laki-laki itu kemudian bergerak ke buku yang semula dibaca Rena, dan tiba-tiba bibirnya bergerak menahan senyum.

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang