EPILOG

414 37 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"AKU DAPAT kabar baik, Mel!" ucap Rista, teman kuliah Gita yang juga merupakan penulis novel.

Tahun lalu, satu bulan sesudah menikah lebih tepatnya, Rista datang menemuiku dan meminta izinku untuk menulis kisahku ke dalam novelnya. Ini semua berawal dari Gita-yang suka membaca novel karya Rista-tidak sengaja menceritakan kisahku kepadanya saat mengobrol. Rista pun jadi tertarik untuk mengangkatnya menjadi novel. Setelah dua kali meminta, aku pun setuju. Tentu, Singgih telah kuajak musyawarah dahulu. Dan, akhirnya, novel Kafe Dhuha pun terbit beberapa bulan yang lalu.

Aku dan Rista jadi sering bertemu di kafe selama proses penulisan naskah. Bukan hanya karena gratis, tapi suasa di sini lebih mendukung untuk Rista menulis. Ia jadi lebih bisa menggambarkan detail kafe dan orang-orangnya.

"Apa?" tanyaku berbarengan dengan Yuki yang datang dengan dua gelas jus dan cake sepiring penuh.

Rista tersenyum riang. Ia menunjukkan email yang masuk ke dalam ponselnya. Kubaca perlahan-lahan, hingga akhirnya aku paham apa yang membuat Rista buru-buru ke kafe hari ini. Rista hampir berteriak, "Ini bakal jadi novel pertamaku yang dibuat film!"

Aku ikut tersenyum senang. "Alhamdulillah," ucapku. "Selamat, ya, Rista."

Rista mengangguk-angguk. Usia kami berdua hampir sama, tapi ia masih belum menikah. Untuk itu, aku tidak mau menyinggungnya lebih jauh. "Ini berkat kamu juga! Cerita kamu bagus!" pujinya balik. "Dan, satu lagi, katanya ... mereka mau pemainnya adalah ... kalian!"

"Hah?" aku melongo. "Kenapa?" tanyaku terkejut.

Kulihat Rista malah mengangkat bahunya. "Kan, di novelku ditulis 'based on true story', mungkin mereka juga penasaran sama orang-orang aslinya."

Aku diam sejenak. Ini adalah tawaran yang berat. Selain malu, aku juga tidak tahu apakah Singgih mau. Belum lagi, kami berdua sama-sama tidak pernah belajar tentang seni peran.

"Please. Mau, ya?" mohon Rista.

"Aku pikir-pikir dulu, ya? Aku juga harus izin ke suamiku," kataku dengan tetap tersenyum.

****

Setelah menikah, aku pun bayak berubah, kata orang. Ibuku dan ayahku sepakat menganggapku sekarang sudah jauh lebih dewasa dan matang. Aku juga lebih handal di dapur, tidak lagi makananku terasa keasinan seperti yang dulu Singgih katakan.

Gita dan Frans menikah dua bulan yang lalu, dan sekarang mereka sedang pergi ke Surabaya karena Frans harus menangani salah satu cabang perusahaan ayahnya di sana selama sepekan. Sementara aku, sekarang aku adalah akuntan tetap di Kafe Dhuha dan juga menjabat sebagai sekretaris pribadi Singgih Bimantara. Haha.

"Kak," panggilku.

"Hmm?" gumam Singgih sambil mengusap perutku yang mulai membuncit. Ia baru saja membaca surat Al-Mulk favoritnya untuk anak kami yang masih perut. Usianya baru empat bulan. "Apa?"

"Ada tawaran main film, mau?" kutanya.

Singgih lantas duduk, menatapku. "Beranak dalam kubur?!"

Sontak, kujambak rambutnya hingga Singgih berteriak pura-pura. "Bukan. Novel tentang kita dilirik sama sutradara."

Sejenak, Singgih diam. "Kalau bayarannya mahal, aku mau," candanya.

Aku tersenyum, seperti inilah Singgih sekarang. Penuh Jenaka dan sudah seperti seorang ayah.

"Mau mahal atau enggak, kan, larinya tetap ke aku?" balasku.

Bibir Singgih mengerucut. "Tuh, Nak. Umi kamu kalau udah begini, susah dilawan," ucap Singgih sambil menatap perutku.

Aku langsung tertawa. "Kok, umi?" tanyaku.

"Masak mama? Mau dipanggil mama-Lia sama anak kita?" tanya Singgih balik.

"Bunda aja," kataku.

Diam dia.

"Nantilah, jangan dipikir sekarang." Singgih menghela napas. "Mulai shooting kapan?" tanya Singgih akhirnya.

Kucium pipinya. "Katanya alur mundur, jadi kemungkinan secepatnya. Sekalian shooting bagian aku lagi hamil."

Singgih tersenyum senang. Jurus cium pipi selalu berhasil untuk mengalahkannya. "Gajinya berarti tiga, dong? Kita sama si Huma?"

"Huma?" aku mengernyit.

Singgih mengangguk mantap. "Humaira."

"Hah? Emang anak kita perempuan?" tanyaku semakin keheranan. Kami berdua sepakat untuk tidak menggunakan alat USG kecuali kontrol kandungan biasa setiap ke dokter. Kurasa, selama kondisi kandunganku bagus, aku tidak perlu berlebihan. Toh, katanya, USG juga tinggi radiasi. Tidak bagus untuk bayi di perutku.

"Ini adalah feeling anak dengan ayahnya."

"Sok tahu," kekehku.

"Aku udah enggak sabar. Masih lima bulan lagi, ya?" tanya Singgih.

Aku mengangguk. "Kak," bisikku. "Kok, tiba-tiba pengen durian, ya?"

Singgih melirikku dan menghela napas dalam-dalam. "Udah malam begini?" tanyanya dan aku menjawab dengan anggukkan. "Ini kamu ngidam apa lapar?" sindirnya dan langsung melesat pergi sebelum kucubit.

**TAMAT**

Kafe DhuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang