35 - Dua Menara

276 25 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




SABTU PAGI aku memutuskan untuk ikut ibuku dan Tante Daning ke pasar. Kami bertiga berkeliling di dalamnya sambil memilih-milih bahan makanan yang akan menjadi persediaan di rumah selama satu Minggu. Udara pagi yang segar setidaknya membuat beban pikiranku sedikit teralihkan. Semalaman aku berpikir keras. Mencoba memecahkan misteri di balik kata-kata Singgih lebih susah daripada memecahkan misteri harta karun.

Aku membantu Tante Daning memasak di dapur, sementara ibuku dan Bik Ratih menugaskan diri untuk membersihkan seluruh gorden di rumah. Ramadhan sebentar lagi dan segala persiapan untuk menyambutnya sangatlah banyak bagi ibuku.

"Semalam kalian bertengkar?" Tiba-tiba Tante Daning berbisik.

Aku yang sedang mengupas bawang lantas terdiam sejenak. "Enggak," kilahku. Lalu, tak lama aku sadar kalau Tante Daning tidak percaya begitu saja. "Yah, cuma ribut sedikit."

Tante Daning lantas terkekeh. "Muka dia semalam kaya orang habis kena PHK." Ia kembali tertawa. "Udah lama tante enggak lihat mukanya bisa begitu," tambahnya. Yang kutahu Singgih semalam memang meninggalkanku ke bawah, tapi tidak kusangka ia pergi ke kamar Tante Daning. Apakah ia mengadu? "Dia itu sayang kamu, Mel."

Aku terperanjat. Perkataan Tante Daning mengacak-acak otakku. Singgih menyayangiku? Yang benar saja. Ia selalu memasukkanku ke dalam daftar orang yang wajib diajak berdebat. Ia juga selalu terkesan dingin kepadaku. Baiklah. Lupakan tentang susu, sate ataupun bubur yang pernah ia berikan untukku. Itu kan memang hobinya dan kebajikan sebagai tamu di rumah. Jangan lupakan kalimat-kalimat ambigunya yang menohok. Singgih jelas sama sekali tidak mempunya perasaan untukku.

Tante Daning mungkin hanya salah paham.

"Dia memang enggak pernah ngomong, tapi tante tahu itu." Tante Daning makin intens. "Gita yang bilang kalau ia sama sekali enggak ada perasaan lagi ke Lusi kecuali cuma mau menepati janji. Singgih memang sangat tertutup, tapi tante tahu dia itu sedih waktu kamu pergi dan enggak bisa berbuat apa-apa."

Aku bak dihujam.

"Nah, tapi sekarang kamu sudah dekat dengan orang lain, ya?" Ibu Singgih itu kemudian tersenyum. "Dia pasti menyesal. Tapi, beginilah hidup. Enggak ada yang tahu apa yang terjadi di kemudian hari. Tante sebagai ibu selalu berdoa yang terbaik buat kalian."

Mendengar itu, aku pun hanya bisa tersenyum kecut. Mana yang harus kupercayai? Intuisiku atau ucapan dari wanita yang kuanggap ibuku sendiri?

****

Aku baru sadar kalau malam ini adalah malam Minggu. Aku juga baru sadar kalau selama ini aku melewatinya begitu saja. Tidak seperti Wenda, Nudi dan Kenya yang sibuk membahas apa yang akan mereka lakukan malam ini di grup chatting, aku lebih memilih menenggelamkan diri di dalam bathtub. Berendam lebih tepatnya.

"Cameliaaaaaaaaaa!" panggil ibuku dengan suara lantang yang mampu membuat malaikat peniup sangkakala terkaget.

Dengan berat, kubuka mataku dan keluar dari kamar mandi. Mandi madu dan susu di malam Minggu kuakhiri sampai di sini. Kulihat ibuku sudah berpakaian rapi dan ber-make up. "Kenapa?" tanyaku masih dengan handuk membungkus tubuh.

Kafe DhuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang