34 - Sate atau Berlian

267 26 1
                                    

BUKAN MAIN aku tercengang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


BUKAN MAIN aku tercengang. Mataku hampir lepas. Orang yang membuatku selalu menyalahkan diri dan harus diterapi karena trauma baru saja menyebutkan namaku. Orang yang sudah menusuk Singgih dengan pisau dan membuatnya hampir kehilangan nyawa sekarang ada di hadapanku. Ya, meski kami sebenarnya berkilo-kilo meter jauhnya.

"Kak," aku membalik tubuh, kutatap wajah Singgih yang memucat, "kenapa bisa? Kenapa dia ...." Pertanyaanku mengambang karena aku sama sekali tidak habis pikir. Dari sekian banyak kejutan dari Allah untukku, mengapa Niko harus jadi salah satunya?

Singgih menatapku dengan bola matanya bergetar. Entah itu kebohongan atau kebenaran yang coba ia sembunyikan. Tapi, ia terlihat tercekat begitu jelas. "Onta," katanya.

Mataku terpejam karena murka. "Seharusnya dia masih dipenjara," desisku tak mau mendengar kata apapun dari mulutnya.

Hening.

"Aku tutup dulu, ya? Aku enggak mau lihat orang yang lagi berantem." Lusi akhirnya yang bersuara. "Singgih, sudah waktunya kamu jelasin semuanya."

"Mel, aku tahu ini berat," tambah Niko, "tapi Singgih enggak salah, kok."

Aku mengerang, "Diam!" Kubalik dengan kasar ipad milik Singgih tersebut hingga layarnya menghadap ke bawah dan mati. Aku pun kembali menatap Singgih. "Jadi, apa aja yang aku enggak tahu?" tanyaku muak.

Singgih menghela napas berat. "Tuntutan ke Niko udah lama kucabut. Aku udah minta izin ke kedua orang tua kamu dan keluargaku juga," tutur Singgih.

"Izin?" ulangku. Sementara yang lain tahu tentang ini, aku bak orang bodoh yang tidak paham apa-apa.

Namun, Singgih tidak menghiraukan interupsi yang kulakukan. "Dua tahun yang lalu, aku memutuskan untuk menikahi Lusi. Awalnya aku kira aku bisa, tapi ternyata enggak. Lusi enggak mau tahu tentang keraguanku, tapi berkat bantuan Allah, dia akhirnya mau mengerti."

"Apa hubungannya dengan Niko?" Nafasku sepanas api.

"Hanya dia orang yang mencintai Lusi sampai rela melakukan tindakan kriminal sekalipun. Kamu ingat, kamu diculik karena dia dendam ke aku." Singgih berjalan, duduk di pinggiran tempat tidur. "Makanya, aku minta tolong ke Niko untuk segera meminang dia. Dan, aku pun terpaksa cabut tuntutan itu dan menjamin pembebasan dia."

Mulutku ternganga. "Kakak tega lakuin itu ke Lusi?"

"Aku udah bilang, kan? Lusi sudah paham. Dia mau mendengarkan nasihatku akhirnya. Dia pantas mendapatkan orang yang mencintai dirinya dengan sepenuh hati. Dan, kukira cuma Niko orang yang tepat untuknya."

Aku memijat kepalaku yang berdenyut-denyut. Kenyataan ini memukulku telak. Aku bak dihajar oleh kebenaran secara bertubi-tubi. "Tapi, dia itu pembunuh! Lusi enggak selayaknya menikah sama pembunuh!"

"Nabi Adam pun harus menerima hukumannya karena menuruti permintaan Hawa, kan?" tanya Singgih yang kutahu tidak perlu kujawab. "Apalagi manusia biasa seperti Niko. Kamu lihat sendiri mereka sekarang hidup bahagia, punya anak yang lucu. Kirana namanya. Aku dan keluarga kecil Lusi semakin dekat setelah dia lahir. Kirana bahkan manggil aku ayah."

Kafe DhuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang