10 - Pulang

4.2K 68 4
                                    

Selepas salat isya dan membaca beberapa lembar alquran, Singgih berdiri di pinggir balkonnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selepas salat isya dan membaca beberapa lembar alquran, Singgih berdiri di pinggir balkonnya. Ia menatap sebuah titik di kejauhan. Seharian ini ia memikirkan gadis itu. Camelia. Kerasnya kepala Camelia dan sifat membangkangnya membuat Singgih teringat sesuatu, masa-masa pemberontakannya kepada orang tua. Khususnya ayahnya.

Tangannya lantas bergerak, Singgih kemudian mengambil ponsel di saku celana. Sistem panggilan cepat yang terprogram hanya membuatnya menekan sebuah angka di dialpad untuk menelepon adiknya, Gita.

"Kenapa?" tanya Gita setelah menjawab salam dari Singgih. Ia tahu, kakaknya tidak pernah meneleponnya duluan. Ini sesuatu yang sangat langka.

Singgih kembali menatap ke kejauhan, ke titik-titik berkelap-kelip. Lampu-lampu di pinggiran kota. "Kamu sudah telepon orang tuanya lagi?" tanya Singgih. Wajahnya terlihat muram.

Gita mengernyit, kemudian ia tersadar sesuatu. Camelia. "Waktu pertama kali dia datang ke sini, mama udah telepon Tante Dahlia. Aku udah minta mama bilang ke Tante Dahlia supaya jangan dulu hubungin Camelia sebelum dia tenang. Aku takut Camelia kabur lagi. Kakak tahu sendiri, kan? Camelia itu keras kepala."

Senyuman tipis timbul di wajah Singgih. Ia memang belum makan malam, tetapi rasa laparnya terganggu oleh kepalanya yang penuh pikiran akan hal ini. Ia bisa melihat Camelia berusaha tegar, berusaha beradaptasi, bahkan berusaha berubah. Singgih merasa kalau dirinya terkadang sudah kelewatan bersikap kepada Camelia, tapi ia tidak tahu mengapa dirinya tidak bisa mengendalikan sikap dinginnya tersebut.

"Kakak itu peduli banget sama Camelia."

Kata-kata dari Gita meluncur seolah itu semua adalah jawaban. Singgih terheran-heran, apa mungkin dirinya memang peduli? Atau ia melihat kepahitan Camelia yang sama dengan dirinya waktu itu?

"Mungkin," sahut Singgih.

Gita tersenyum. Begitu senang. "Tapi, suatu saat dia akan pergi, kan?" lirih Gita. Ia begitu menyayangi Camelia sehingga begitu berat rasanya untuk berpisah lagi. Ia bahkan bercita-cita untuk membangun rumah yang berdekatan kalau sudah berkeluarga kelak.

Singgih mengangguk. "Dia memang harus kembali, Git," ujarnya. "Kedewasaan akan membuat dia sadar tentang sesuatu. Dia akan pulang ke kedua orang tuanya."

Terdengar kekeh Gita. "Ya, tapi itu kayaknya agak lama, deh. Camelia sampai sekarang enggak pernah mau telepon orang tuanya. Dia masih kecewa. Aku udah bujuk, tapi tetap aja."

Perlahan Singgih masuk ke dalam ruangannya, ia mengambil secarik kertas dan sebuah pena di atas meja kerja. "Git, kakak minta nomor Tante Dahlia sama Om Furqon, dong."

****

Kedinginan. Camelia mencuci wajahnya setelah melepas apron di tubuh. Frans yang besok mendapat giliran off pun sama kedinginannya setelah membantu Bram mencuci piring. Musim kemarau selalu membawa angin yang dingin setiap malam dan terik matahari yang menusuk kepala di kala siang. Padahal mereka sudah mematikan AC di area belakang, tetap saja angin mampu menerobos masuk lewat lubang-lubang ventilasi.

Kafe DhuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang