39 - Jangan Menangis

308 28 0
                                    

AKU TERPERANGAH.

Sudah menjadi bakat Singgih untuk membuat orang terkejut. Aku seharusnya sudah hafal itu. Sekarang, betapa lucu dan bodohnya diriku hingga aku ingin tertawa kencang. Terombang-ambing, sementara Singgih punya kendali yang kuat, mengontrol segalanya. Seakan-akan dia adalah pusat dari tata surya, dan aku hanyalah asteroid. Terapung-apung di angkasa, menunggu dihajar, hancur hingga jadi debu.

Singgih. Dibuatnya terbang, aku mengudara. Dibuatnya menangis, aku tenggelam. Dibuatnya kecewa, aku terbakar.

Singgih. Sebaik apapun dia, setinggi apapun kalian memujanya, dia tetap saja bisa salah. Jujur, aku baru bisa mengatakan ini karena ... karena dia tiba-tiba dengan berani mengucapkan kalimat itu ke hadapan kedua orang tuaku. Dengan enteng. Padahal, kalau dia ingat, aku baru saja meninggalkan Yoshi. Berlari tanpa menoleh ke arahnya sedikit pun, hanya untuk Singgih. Lelaki yang bersikap seenaknya itu.

"Yang berhak menjawab itu aku, Kak. Aku," kubilang sambil mengeluyur pergi.

Setelah ini, kalian tentu akan mengutukku, aku tahu. Tapi, jangan kalian lupakan perasaanku. Setelah apa yang terjadi pada akhir-akhir ini, juga keheningan yang menyelimuti selama tiga tahun yang sudah berlalu. Kalian seharusnya bisa merasakan apa yang kurasakan sekarang.

Aku ragu.

Aku marah.

****

Semalaman aku di kamar. Pikiranku berisik hingga sukar bagiku untuk tidur. Di satu kutub kepalaku, mereka bilang inilah saat yang paling kutunggu. Di kutub lainnya, mereka bilang kalau aku masih bisa mundur.

Kudengar pintu kamarku diketuk. Aku tidak langsung membukanya, melainkan berdiri di baliknya dan menunggu petunjuk tentang siapa yang baru saja mengetuk. "Onta," panggil Singgih.

Aku mematung.

"Kamu harus makan. Marahmu juga butuh energi."

Aku mengernyit, kata-kata itu tidak asing di telingaku. Di novel yang pernah kubaca? Ah, entahlah. "Aku enggak marah," jawabku.

Kudengar Singgih menghela napas. "Ayo, keluar, semuanya jadi khawatir karena kamu."

Aku terkekeh. "Karena aku?" kutanya.

"Iya, karena elu!"

Sahutan barusan membuat mataku hendak lepas. Cepat-cepat aku berlari dan mengambil jilbab instan yang tergantung di dekat lemari. Pintu yang tadi menjadi benteng pertahananku, runtuh. Robek bak kertas tipis kala kubuka.

"Gitaaaa!" aku berteriak dan menghambur ke dalam pelukan sahabatku. Aku menangis seketika. Rindu yang menggebu dan mencekik, sekarang bisa kulepaskan perlahan. "Kapan dateng?" tanyaku.

Gita tersenyum. "Barusan," ucapnya. Ia kemudian melirik kakaknya, "Panggilan 911, langsung gue terbang ke Indonesia, deh." Sindiran itu mutlak membuat wajah Singgih bersemu-semu.

Aku kembali memeluk Gita dengan hangat. Alhamdulillah, saat aku merasa butuh dirinya, dia benar-benar hadir. Di hadapanku. Bukan hanya sebatas suara melalu sambungan telepon.

"Oke, Girls. Jangan lupakan tamu yang lain, dong," kata Frans sambil bersedekap. Aku baru sadar kalau Frans sejak tadi hanya berdiri dan memandangi kami berdua.

"Frans!" sapaku riang. "Apa kabar?"

Yang ditanya hanya menunjukkan tubuhnya. "Kata dia, sih, tambah kurus." Frans lantas menggerakkan dagunya untuk menunjuk Gita. Lalu, Gita menjulurkan lidahnya. Saat itu, aku tahu ada sesuatu di antara Gita dan Frans. Sesuatu yang hanya Allah dan Kota Berlin tahu. "Jetlag. Kita butuh amunisi, nih. Cuma yang punya rumah katanya lagi ngambek," ujar Frans kemudian.

Kafe DhuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang