[1] Freaking Order

Start from the beginning
                                    

"Hmm..." gumam Kejora tak jelas.

"Mau ke sekolah?" Cowok itu memperhatikan penampilan Kejora.

"Rencananya gitu," dengkus Kejora, teringat kejengkelannya tadi. Otaknya mulai berhitung. Estimasi lamanya menunggu, durasi pertemuan dan perjalanan ke sekolah. Sial. Ini sih, pasti gagal sekolah.

Lean tertawa renyah. Bibirnya membentuk lengkung sempurna. Dipadu dengan rahang tinggi, rambut cokelat disisir rapi, hidung mancung dan suara bariton yang bersahaja. Pantas saja dia digilai wanita. Lean menarik kakinya dari meja sambil menegakkan punggung. "Udah, homeschooling aja."

Kejora memutar bola mata. Ini pernyataan kesekian ratus dan dia bosan mendengarnya. Terutama kalau itu dilontarkan oleh cowok yang empat tahun lebih tua dari dirinya, lulus SMA lewat kejar Paket C dan malas kuliah karena menganggap masa depan sudah cerah. Nggak usah sok nasehatin deh!

Melihat Kejora yang murung, Lean membungkukkan badan melewati meja. Tangannya terulur untuk mengacak rambut Kejora sambil tertawa. "Bercanda, Jora."

Tepat saat itu pintu terbuka. Mama bersama Prim, produser mereka, dan Sam, sutradara sinetron, masuk ke ruangan. Setelah berbasa-basi sebentar, pertemuan di mulai.

"Sinetron kita sudah nyaris mencapai 350 episode. Tayang Senin-Jumat, nyaris setiap hari. Ada titik di mana penonton mulai jenuh." Prim mengendikkan bahu. Kedua tangannya terbuka.

Sam melipat tangan sambil mengangguk-angguk. Paham benar dinamika di lapangan. Mama cuma senyum-senyum antusias. Tangannya sibuk dengan ponsel. Mungkin sedang belanja online. Lean bersandar santai ke kursi. Ekspresi bosan terpampang jelas di wajahnya. Terakhir Kejora, dia membuang pandangan ke luar jendela. Berharap ada sebuah keajaiban.

"Tayangan televisi hidup dari rating. Ya, meski tidak representatif, rating tetap jadi patokan sponsor untuk memasang iklan. Persaingan di jam prime time juga ketat. Bisa mencapai rating 15 itu anugerah, 20 itu keajaiban." Prim mulai berceramah panjang lebar. "Kita harus berinovasi atau Star's Fate dihentikan. Lalu, semua tersingkir." Kedua tangan Prim yang sejak tadi demonstratif, mengatup.

Mama menurunkan ponsel. Ekspresi terkejutnya semakin dramatis karena riasan alis dan eyeliner tebal di matanya. Lean menegakkan punggung. Jemarinya mengepal-ngepal cemas. Kejora berusaha terlihat ikut khawatir padahal dalam hati dia tidak peduli.

"Aku setuju. Kita butuh gebrakan baru. Jadi apa idenya?" tanya Sam tidak sabar.

"Kita butuh sesuatu yang sensasional dan disorot media. Dengan begitu, sinetron kita tetap dilirik masyarakat." Suara Prim bergaung penuh percaya diri. "Aku membaca dukungan fans di sosial media untuk Kejora dan Lean. Bagaimana kalau kita kabulkan saja harapan netizen?"

"Harapan apa?" Kejora spontan menyahut. Khawatir dengan ide yang akan dicetuskan.

"Apapun idenya aku setuju. Aku nggak mau popularitasku turun." Lean menjawab acuh.

"Kejora juga." Mama yang mewakili Kejora menjawab, sementara Kejora hanya melayangkan tatapan bertanya-tanya pada Mamanya. "Kejora sangat setuju. Ya, kan?"

oOo

Rigel menghempaskan tubuhnya ke salah satu kursi begitu tiba di ruang redaksi majalah. Kekesalan yang tergambar jelas di wajah Rigel membuat teman-temannya penasaran. Rasa kesal menular begitu cerita Rigel tentang pertemuannya dengan Pak Nurdin beredar. Tapi lain di wajah, lain di bibir. Selain mencibir, mereka juga iri setengah mati bisa terjun langsung melakukan liputan sungguhan.

"Memberitakan sisi inspiratif Kejora? Apa Intensitas sudah sudah berubah jadi media pencitraan artis?" Komentar Tama serius. Keningnya berlipat rapat. Tangannya menyangga dagu supaya terlihat berpikir keras. "Lo ke lokasi syuting sinetron Star's Fate, Rig?" Ekspresi serius Tama mendadak berubah cengengesan. "Ikut dong, gue kan mau ketemu artis-artis lain juga."

Bunyi 'huuu' bergemuruh di ruangan sempit berplakat Redaksi Intensitas di pintu depannya.

"Mintain gue tanda tangan Lean kalau gitu!" Lita memohon sambil menyodorkan buku diktat Matematika. "Biar gue semangat belajar-nya."

Dio merebut buku Lita untuk menimpuk kepala Lita. "Yang ada lo malah ngayal ke mana-mana, bukan belajar!"

"Jealous lo, Yo? Makanya, kalau naksir bilang." Tama mencebikkan ledekan pada Dio. "Jangan kayak Mail sama Mei Mei. Berantem mulu tapi saling suka. Cieee..."

"Dih, cowok doyan gosip!" semprot Lita tak kalah sewot. "Nyinyir amat lo, Jajrit!"

Sebagai ilustrator dan tukang layout Intensitas, Tama memang masih sepi job karena penerbitan majalah masih lama. Rigel curiga, Tama juga jadi creator meme Mail-Mei Mei. Rigel malas ikut perdebatan tidak penting itu. Satu-satunya yang masih tenang cuma Vero. "Gimana, Ver?"

Vero yang sibuk dengan rubrik 'girlstalk' berpaling dari komputer. "Kalau nunggu di lokasi syuting sinetron, jangan lupa bawa bekal, koper sama sleeping bag. Syuting sinetron striping gitu biasanya nggak kelar tiga hari tiga malem." Ditatapnya Rigel dengan rasa kasihan berlebihan.

Rigel tetap mengangguk-angguk meski tahu Vero cuma meledek. "Lo nggak sekalian nitip tips dan trik make up ala Kejora, Ver?"

Vero langsung terlonjak syok. Tampang simpatinya langsung lenyap. "Sori ya Rig, bukannya nolak tawaran baik hati lo. Tapi, Intensitas itu majalah sekolah, segmennya remaja, bukan ibu-ibu. Ups..." Vero tergesa membekap mulut. Matanya bergerak-gerak jenaka.

Sudah rahasia umum kalau penampilan Kejora di layar kaca selalu terlihat dewasa dibanding usianya. Kulit putih Kejora masih dipertegas dengan foundation, primer dan bedak berlebihan. Bibirnya yang dipulas lipstik menyala, alis yang dibentuk sedemikian rupa, juga rambut curly hasil tangan-tangan profesional. Ditambah pilihan wardrobe dan heels membuat Kejora yang baru tujuh belas tahun terlihat seumuran dengan Lean yang lebih tua. Nggak heran kalau Kejora selalu dapat peran sebagai anak kuliahan atau bahkan udah kerja.

"Masa depan lo sebagai wartawan infotainment ditentukan dari sekarang Rig. Bersemangatlah!" Dio mengepalkan tangan. Menepuk-nepuk bahu bidang Rigel bahkan nyaris memeluk. Perlakuan itu membuat Rigel ingin menonjoknya.

Rigel sebagai ketua redaksi majalah Intensitas sudah berulang kali melakukan lobi soal ini pada Pak Nurdin. Hasilnya nihil. Tapi Rigel belum mau menyerah. Idealisme Intensitas harus tetap ditegakkan.

Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala Rigel. Sisi lain Kejora? Apa semua sisi lain layak diterbitkan? Mata Rigel berkilat tajam. Bibirnya tersenyum sinis. Dia harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan misi ini.

oOo





Author :

Hallo, setelah sibuk milih playlist So7, kita ketemu lagi.

Gimana part I-nya? Kira-kira Rigel lagi nyiapin misi apa?

Ketemu lagi hari Senin ya. Boleh tanya dong, kalian suka aku update jam berapa? (mau update jam 12 malem, takut nyi Kunt yang baca :D )

Terima kasih yang udah vomment, yang belum jangan lupa. Juga buat yang menyapa saya di sosmed ayawidjaja :*


Love,

Aya

Starstruck Syndrome (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now