"Kamu mungkin harus mempertimbangkan itu. Orang menjadi longgar di rumah mereka," ucapnya. Aku mengirimkan tatapan sedingin es yang membuatnya meringis.

"Kenapa tidak katakan saja, kamu ingin aku berakhir di ranjang bersamanya agar dia mengatakan semua yang aku ingin tahu setelah dia tinggi dari menggunakan tubuhku." Dia menunduk dengan malu, menatap ke jari-jarinya.

"Maafkan aku, bukan itu yang aku maksudkan." Aku hanya mendengus, masih jengkel bahkan meski aku merasakan penyesalan yang tulus darinya karena berani menyarankan itu.

"Lupakan saja itu. Apakah kau sudah mendengar sesuatu dari Kapten?" Dia kembali mengangkat kepalanya, kerutan di dahinya lebih dalam.

"Belum. Dia belum kembali dari Cenesty dan dia juga belum mengirimkan surat. Mungkin dia menemukan sesuatu yang penting yang menyita perhatiannya." Aku merosot kecewa ke kasurku. Aku sudah bertemu beberapa kali dengan Lis sejak yang terakhir kali tapi dia juga belum mendapatkan pembaruan informasi dari orangnya. Aku berharap Drake punya peluang lebih baik.

"Tidak bisakah kita pergi ke Cenesty? Aku
tahu ada yang salah di sana. Laksamana
mengisyaratkan itu dan hantu kakakmu juga." Rahangnya menegang dan punggungnya kaku saat aku mengatakan tentang hantu Putra Mahkota. Pernah suatu malam sebelum dia kembali ke kamarnya aku memberi tahunya tentang hantu Pangeran Leander, dia sangat marah, berpikir aku telah kehilangan akal. Tapi lebih dari itu aku tahu rasa sakit mencekiknya di dalam.

"Dewa tahu aku sudah mencoba, Rose. Tapi Ayahku tidak akan membiarkan aku pergi. Terakhir kali aku bicara dengannya tentang kunjungan ke Cenesty dia mengirimku untuk memeriksa Tananian. Jika aku bertanya lagi dia hanya akan mengirimku ke ujung yang lain."

"Lalu biarkan aku. Kirim aku ke sana." Sesuatu melintas di matanya dan dia menggeleng.

"Tidak. Kamu lebih berguna di sini."

"Fakta bahwa Raja tidak ingin kamu dekat hanya memastikan bahwa ada yang salah di sana. Kita harus menemukan apa itu." Aku berdiri dari ranjangku dan mulai berjalan mondar-mandir di sekeliling kamarku. "Katakan saja aku menginginkan sutra terbaik Cenesty dan kamu tidak bisa menolak keinginanku. Katakan kamu ingin menemaniku, jika Raja menolak, kirim seseorang bersamaku."

"Jujur saja Rose, aku tidak mau kamu pergi." Dia tidak menemui mataku saat mengatakan itu, memandang melewati bahuku ke tembok di belakangku. "Aku senang untuk sekali ini, aku bisa memiliki teman untuk berbagi. Drake mungkin temanku tapi bahkan bersamanya aku tidak bisa memberi tahu dia semua yang aku rasakan. Kamu satu-satunya orang yang tahu tentang bagaimana kakakku mati dan masih percaya aku mungkin tidak melakukannya."

Itu membuatku lengah, mataku melihat rasa frustrasi yang telah dia coba sembunyikan selama ini. Rasa sakit yang memarut wajahnya menjadi kesedihan yang gelap. Sejak dia kembali dari sayap penyembuh dia tidak pernah mengatakan apa pun tentang kematian Yeva. Dia menjaga setiap ekspresi di wajahnya tapi perasaannya selalu bocor padaku. Aku sadar bahwa apa yang dia lihat di sini hari itu, Yeva dengan darah yang bocor disekelilingnya membuat ingatan tentang kematian kakaknya kembali segar di kepalanya, menghidupkan kembali rasa bersalah yang dia coba lupakan. Aku kembali duduk di depannya, lutut kami bersentuhan, aku condong ke arahnya dan mengambil tanganya. Tidak pernah seumur hidupku aku membayangkan akan menghibur Pangeran, satu-satunya hal yang pernah aku bayangkan tentang dia sebelum mengenalnya adalah mengirimnya ke neraka dengan pedangku setelah aku mengirim ayahnya. Tapi di sini, aku melakukannya.

"Orang-orang bisa percaya apa pun yang mereka inginkan dan itu tidak akan membuatnya menjadi benar. Apa yang membuat itu benar adalah apa yang kita percaya." Dia balas menggenggam tanganku, menyelipkan jari kami untuk terhubung. "Bahkan jika benar kamu membunuhnya, semua penyesalan itu memberi tahu kita bahwa kamu tidak menginginkannya, itu bukan salahmu."

Rose In the Mist and Flame [ REPOST ]✔जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें