1 [Panggilan dari Ayah]

41.3K 1.5K 15
                                    


Hari itu, hari yang seharusnya menjadi hari dimana dia bermalas ria, bercumbu dengan empuknya kasur bersama dengan antek-anteknya yang tak lain bantal-bantal lembut di dalam kamar kos, namun harus urung ia lakukan sebab panggilan memaksa dari sang Ayah melalui sambungan ponsel yang tak henti berdering sejak subuh tadi.

Agak dongkol, gadis bermata bulat itu berusaha mencari keberadaan benda pipih itu di antara tumpukan benda yang berserakan di atas kasurnya.
Baru beberapa menit tadi dirinya menghempaskan kembali tubuhnya ke atas kasur usai melaksanakan salat subuh, aksi malasnya harus tertunda karena panggilan telepon itu.

"Assalamualaikum...'' sambil menguap, Nami mengucap salam pada sang penelepon.

"Waalaikumsalam, Nami kamu lagi ngapain? Sibuk tidak di sana? Ayah mau ngomong sebentar.'' Suara pria separuh baya itu membalas.

Nami melirik jam di dinding kamar, masih menunjukkan pukul 05:15. Awalnya ia berencana tidur sampai siang, mengingat ini hari libur dan dia juga lelah setelah seminggu dipaksa kerja rodi oleh si Bos besar menyebalkan di tempatnya bekerja.

"Nami baru bangun tidur, Yah... kenapa emang?'' Ia bertanya di tengah rasa kantuk.

"Baru bangun tidur ya? Kamu pasti kerja keras di sana sampai kedengaran capek kayak gini. Tapi maaf Ayah harus ganggu kamu pagi ini, Ayah mau ngomong sesuatu,'' Ayah berhenti sejenak, Nami menunggu dengan sabar ditengah kesadarannya yang mulai menghilang.

"Kamu bisa pulang tidak hari ini?'' Hati-hati Ayah bertanya.

Nami bergumam, keningnya berkerut bingung, tumben sekali Ayah memintanya pulang padahal baru seminggu dirinya kembali ke kampung halaman. "Memang ada apa, Yah?'' Nami balik bertanya.

Ayah terdengar menghela napas berat, sepertinya sulit sekali mengutarakan maksudnya menelepon pagi itu. Semakin penasaranlah Nami, kantuknya berangsung hilang, diganti perasaan was-was mungkinkah sesuatu telah terjadi?

"Susah buat dijelasin kalau lewat telepon. Kamu pulang saja dulu, ya? Nanti Ayah jelaskan di sini, mau 'kan nak?''

Nami terdiam, berpikir apa kira-kira 'hal' yang terdengar amat penting dan mendesak ini? Mungkinkah sesuatu yang buruk telah menimpa keluarganya? Oh tidak! Jangan sampai itu terjadi.

Allah, sebenarnya ada apa ini? Kenapa perasaannya tiba-tiba tidak enak?

"Namira? Mau, ya nak?'' Ayah kembali memohon, suara lembutnya membuat Nami dipeluk rindu pada pria yang sudah beruban banyak itu dengan sangat.

Namira menghela napas, ''Bisa kok Ayah, Nami siap-siap dulu kalau gitu.''
Biarlah untuk kali ini saja ia melawan rasa lelahnya, toh Ayah dulu saja tak pernah lelah banting tulang menafkahi dirinya juga kakak dan adiknya, mengabaikan segala sakit dan entah berapa banyak peluh yang terbuang hanya agar kebutuhan anak-anaknya terpenuhi. Masa untuk hal ini saja, Nami tidak bisa mengalah dan tetap memilih meneruskan aksi malasnya? Sungguh durhaka seorang Namira jika itu terjadi. Anak tak tau diri namanya.

"Maaf ya, Ayah harus ganggu waktu istirahat kamu.''

Nami menggeleng, ''Ayah nggak ganggu sama sekali, kok. Yaudah kalau gitu Nami mau siap-siap dulu, dah Ayah... love you, Assalamualaikum.'' Gadis bermata bulat itu mengakhiri sambungan dengan kecupan jauh untuk sang Ayah, terdengar kekehan dari pria paling Namira cintai itu sebelum panggilan benar-benar terputus.

***


Dalam perjalanannya menuju kampung halaman, Nami tak hentinya mengucap istigfar, bedoa semoga tidak ada masalah apapun yang menimpa keluarga tercintanya. Di dalam kereta yang penuh sesak ini, rasa khawatir merundungnya. Penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi hingga sang Ayah begitu memohon dirinya segera pulang.

Pada akhirnya, Nami memilih bersalawat di dalam hati untuk mengusir rasa cemas sekaligus penasarannya. Hingga kemudian, gadis bermata bulat itu tertidur di tengah salawat, tak kuasa menahan tubuh lelahnya untuk terus terjaga.
Empat jam sisa perjalanan gadis itu isi dengan terlelap ke alam mimpi.

***


Namira sampai di tempat tujuan, matahari sudah tinggi saat ia sampai. Untunglah ia terbangun sebelum kereta benar-benar berhenti, jadi tak usah khawatir salah turun tempat tujuan.

Tergesa, Nami melangkahkan kaki keluar stasiun. Ayah kembali meneleponnya, bertanya sudah dimana ia berada? Sambil mencegat taksi, Nami menjawab segala pertanyaan Ayah ditelepon. Perjalanan menuju rumahnya di dalam taksi diisi dengan percakapannya bersama Ayah. Beberapa kali gadis berkhimar hijau dengan corak bunga lily itu memancing sang Ayah untuk memberitahu perihal alasan memintanya untuk pulang, tapi Ayah terus berdalih bahwa sulit mengatakannya jika melalui sambungan telepon. Nami hanya bisa mendengus, dirinya sudah kepalang penasaran tapi rasa penasarannya tak terjawab sedikitpun.

Semakin besarlah rasa bingung sekaligus penasarannya ketika melihat sebuah mobil hitam tak ia kenal terperkir apik di halaman rumahnya yang tak seberapa besar. Keningnya berlipat-lipat, pikirannya sibuk menerka siapa gerangan pemilik mobil ini? Mungkinkah orang ini ada hubungannya dengan kegaduhan yang timbul pagi ini?

"Assalamualaikum...'' salam Nami seraya mengetuk pintu rumah.

Tak butuh waktu lama untuk pintu itu terbuka, menampilkan sosok wanita tak lagi muda tersenyum cerah kepadanya. Nami membalas senyum Ibu tirinya seraya meraih punggung tangan wanita yang sudah menyambung kasih sayang dari Ibu kandungnya yang sudah lama berpulang, dicium dengan penuh khidmat punggung tangan itu.

"Waalaikumsalam, gimana kabar kamu, nak?''

Nami mengangguk, ''Nami baik kok,Bu. Ayah ada?'' Diarahkannya mata bulat itu ke dalam rumah, mengintip dari balik tubuh Ibu tirinya mencari keberadaan sang Ayah di sana.

"Ayahmu ada di belakang, ayo..'' Ibu menarik lengan Namira, menggiring gadis itu ke area pekarangan rumahnya.

Bahkan Namira tidak ingat dengan kondisi tubuhnya yang masih menyimpan lelah. Rasa penasarannya membuat gadis itu tak lagi peduli dengan kondisi tubuhnya. Nami bersyukur Ibu tirinya mengerti akan rasa ingin tahunya dengan langsung mengarahkannya ke tempat sang Ayah, tak lupa membantu Nami menyimpankan tas tak seberap besar yang dibawa-bawa Nami selama perjalanan menuju ke sini.

"Namira, kamu sudah sampai? Sini, nak..'' Ayah menyambutnya bahkan saat Nami baru sampai di ambang pintu. Pria penuh uban itu duduk di atas kursi rotan, tangannya terentang siap menyambut kedatangan putri paling ia banggakan.

Nami berjalan mendekati sang Ayah, memeluk haru pada pria paling Namira cintai sedunia itu.
Selalu saja seperti ini, meski belum lama mereka tak saling bertemu, Nami selalu merasa rindu teramat sangat pada sang Ayah. Seolah, mereka memang sudah lama sekali tidak bertemu. Betapa Nami amat sayang pada pria tak lagi muda, tamun tetap tampan dimata Namira ini.

"Gimana kabar kamu?'' Tanya Ayah, Nami kini duduk di samping sang Ayah, tangan besar Ayah merangkul pundaknya, memberikan rasa aman pada diri Namira.

"Nami baik Ayah, udah deh Ayah  jangan banyak basa-basi, sebenernya ada apa ini? Kenapa Ayah tiba-tiba minta Nami pulang? Nami penasaran ini loh..'' Bibir Nami mengerucut sebal, agak dongkol karena rasa ingin tahunya masih belum juga tertuntaskan.

Ayah terkekeh, mengusap gemas kepala sang putri dengan tangan besarnya.

"Kamu nggak banyak berubah ya Namira?''

Suara lembut mendayu itu mengalun indah ke dalam indera pendengarnya. Nami tertegun, merasa tidak percaya atas apa yang didengarnya. Jantungnya berdegup lebih cepat, otaknya tiba-tiba saja memutar kenangan yang sempat ia lupakan dari kotak memori. Perlahan, ia memutar kepalanya, menatap tak percaya pada kursi rotan di hadapan dia dan sang Ayah.

Kenangan itu berputar cepat silih berganti memenuhi benaknya. Kenangan bertahun-tahun silam, yang dipikirnya takkan pernah lagi ia kenang sebab sang pelaku takkunjung datang.

"Ayah, kenapa ada...?'' Nami menatap Ayah dengan pandangan tidak mengerti.

Bagaimana dia tidak bingung dengan semua situasi ini?

Kenapa mantan istri kedua Ayah duduk di sana? Untuk apa?

Takdir Dua Hati | END ✓Where stories live. Discover now