18.

2.6K 217 104
                                    

a/n: Setelah satu bulan... setelah SATU BULAN, whoaaa!:" And well, ini buat kamu yang udah nungguin cerita ini (kalo ada sih..), buat kamu yang kangen Luke & Allison, buat kamu yang masih pengen baca cerita ini.. /deep breath/ \mata berkaca-kaca\ /tampang sedih alay/ ... selamat membaca! Longer author's note masih menanti :))

---------------

Ketika pagi ini Luke memasuki kelas Fisika Mrs. Theodore dan mendapati hampir semua kursi sudah terisi, ia hanya punya dua pilihan – 1) Duduk di samping Shelby Collin, atau 2) Duduk di samping Florence Foster.

            Sekedar informasi saja, Shelby Collin adalah gadis aneh yang terkenal punya fetish kuat terhadap cowok berlesung pipi atau berambut super-lembut atau punya struktur tulang pipi tinggi dan menonjol. Seorang cowok bernama Zayn Malik pernah terpaksa mengenakan hijab dan cadar ala perempuan Arab ketika harus duduk di samping Shelby saat ujian, setelah sehari sebelumnya Shelby terus menerus menyentuh rambut dan tulang pipinya

            Tak ingin mengambil resiko, Luke pun memilih pilihan kedua – duduk di samping Florence, walau itu berarti ia harus duduk di pojok belakang kelas.

            “Hai, Florence,” sapa Luke dengan agak canggung, lalu ia menduduki kursi kosong di sebelah Florence. Gadis berkardigan putih itu menoleh – tampak agak terkejut selama sepersekian detik – dan bibir pink pucatnya melengkung membentuk sekulum senyum tipis. Ia tidak mengatakan sepotong ‘halo’ atau semacamnya.

            Lima menit berlalu, dan Luke mulai merasa gugup dan canggung.  Ia punya banyak pertanyaan untuk Florence – tentang luka memarnya, tentang kejadian malam itu, tentang apa yang sesungguhnya terjadi padanya – tetapi itu bukan jenis pertanyaan yang pantas ditanyakan dalam situasi seperti ini, di dalam kelas yang super-ramai dan gaduh.

            Jadi, Luke hanya diam, hingga tiba-tiba ia teringat sesuatu.

            “Hei, Florence,” ujar Luke seraya mengeluarkan sesuatu itu dari ranselnya.

            Mendengar suara rendah Luke menyebut namanya, Florence langsung menoleh dengan gerakan kepala yang tampak kaku dan ragu. “U-uh, ya?” suara kecilnya meluncur melewati bibir tipisnya. Lalu mata kelabunya mengerjap, memandang benda yang disodorkan Luke ke hadapannya.

            “Aku meminjamnya di perpustakaan itu beberapa waktu lalu,” ungkap Luke, berusaha menghilangkan nada canggung dalam suaranya, “kau tahu, perpustakaan tempat kita mengerjakan tugas Sejarah itu,” jemarinya mulai berderap di pinggir meja. “Well… aku sudah selesai membaca buku itu, dan kupikir kau bisa membantuku, errr, mengembalikannya?”

            Florence hanya mengerjapkan matanya, bibirnya membuka sedikit, menyisakan ruang kecil yang menampakkan ujung gigi depannya. Gadis itu tak bersuara, dan Luke memutuskan untuk kembali berbicara. “Maksudku, kurasa kau sering pergi ke perpustakaan itu, dan aku belum tentu sempat mengembalikannya –“ Luke meletakkan buku itu di meja, menggesernya ke arah Florence. “Intinya, aku minta bantuanmu untuk –“

            “O-oke,” Florence memotong kalimat Luke, lalu kepalanya kembali tertunduk, kali ini memandang buku yang ada di hadapannya. Mengamati sampul coklat usangnya, berhias lima huruf – Poems – yang sudah memudar.

            “Aku tidak mengenal Christopher Poindexter, tapi aku menyukai puisi-puisi buatannya.”

            “Kau… menyukai puisi-puisinya?”

Ups, Downs, & The Heart Bombs ✖️ hemmings [a.u.] || SLOW UPDATESWhere stories live. Discover now