13.

3.2K 227 105
                                    

            “Kok bisa, jawabanmu nomor sepuluh adalah C?” Luke bertopang dagu, memandang Dev yang sedang memutar-mutar pensil di antara telunjuk dan jari tengahnya. “Tolong jelaskan padaku.”

            “Well,” Dev berhenti memutar pensil di tangannya, lalu berkata lagi, “Aku mencoba menghitungnya dan jawabanku adalah 371. Pilihan C adalah 1041, itu yang paling mendekati. Kau lihat kan, jawaban yang la –“

            “Apa yang kau pikirkan, sih?” Luke memotong, memasang tampang bersungut-sungut. “Yang benar itu A, bukan C,” katanya dengan malas. Luke juga mengerjakan soal itu – Mr. Geoff memang memberikan dua eksemplar soal matematika 80 nomor pada mereka. Pria itu kelihatan super-girang ketika tahu Luke dan Dev mau menjalankan program besutannya (well, kira-kira ekspresinya seperti Spongebob setelah Squidward mau ia ajak berburu ubur-ubur…)

            “Bagaimana bisa?!” Dev langsung membelalak. “Dengar, Luke Hemmings, aku sudah menghitungnya dua kali dan jawabanku tetap sama. 371. Pilihan C yang paling mendekati! Well, atau mungkin ada kesalahan pada soal i –“

            “Kesalahan ada pada otakmu,” potong Luke lagi, namun ia cepat-cepat mengoreksi sebelum ada erupsi mengerikan terjadi. “Eh, maksudku pada caramu menghitung,” ia lantas menyodorkan secarik kertas pada Dev. “Tuh lihat, caraku mengerjakan soal itu. Sama tidak, dengan punyamu?”

            Dev mendengus keras dan mengambil kertas itu, mengamatinya sejenak. “Fuck math,” ia memutar matanya, lalu kembali memutar pensil di tangannya. Luke hanya menghela napas, pasrah. Dev keras kepala dan selalu mengeluh – selama tiga puluh menit belakangan ini, terhitung lebih dari dua puluh kata umpatan terlontar dari mulutnya, ‘fuck’ menduduki peringkat pertama dengan frekuensi tertinggi.

            Mata Luke tiba-tiba tertuju pada pensil yang berputar-putar di tangan Dev. “Kau mengingatkanku pada Ashton,” ujar Luke. “Err, that thing…” ia menunjuk tangan Dev, yang masih masih terus-terusan memutar pensil. Sisi bodoh Luke mulai berpikir, kalau misalnya pensil itu punya nyawa, sekarang ia pasti sudah pusing dan memuntahkan isi perutnya ke wajah Dev – atau mungkin melompat dan menusuk mata Dev dengan bagian runcingnya.

            “Ashton?!” ulang Dev dengan mata melebar. “Ashton yang itu?!” ia setengah memekik. “The annoying-asshole-with-dimples?” oh, jadi begini cara Dev mendekripsikan Ashton.

            “Dia melakukannya hampir setiap saat, dengan benda apapun yang menyerupai stik drum,” Luke menjelaskan, dan tiba-tiba ia teringat sesuatu. Sesuatu yang pernah dikatakan oleh Dev. “Hei, katanya kau suka drummer?”

            “That-Ashton-fucking-Irwin-kid… itu pengecualian besar,” Dev menukas, lalu meneguk minuman berwarna ungu kehitaman dari gelas wine – sesungguhnya itu hanyalah minuman rasa blackcurrant. Berhubung kemasannya bergambar pendekar-berkostum-polkadot yang mengacungkan seikat anggur tinggi-tinggi – ilustrasi produk yang memang sangat memalukan – Dev memutuskan untuk memindahkannya ke gelas wine.

            Keheningan merayap selama beberapa detik. Luke hanya terus menunduk, menghela napas, dan berusaha menahan dorongan untuk menggigiti pensilnya. Ia tak percaya sore ini ia berakhir di ruang makan kediaman keluarga Woodley, dengan Dev duduk di seberangnya sambil memutar-mutar pensil. Tidak ada hal buruk yang mereka lakukan – mereka hanya belajar – namun tetap saja Luke merasa sedikit tak nyaman. Allison. Gadis itu tidak tahu soal hal ini.

            Mengingat tentang Allison membuat Luke teringat perkataan Dev tempo hari – ketika Dev memohon-mohon padanya untuk menjadi tutornya. “Aku bisa menjelaskan semuanya jika kau mau membantuku.” Semuanya – Luke mengartikannya sebagai ‘penjelasan mengapa Dev melakukan hal-hal mengerikan itu pada Allison’.

Ups, Downs, & The Heart Bombs ✖️ hemmings [a.u.] || SLOW UPDATESWhere stories live. Discover now