11. (b)

3.1K 234 108
                                    

            Bagaimana perasaanmu jika kau hanya ingin mencuci tangan, namun justru mendapati pacarmu sedang berhadapan dengan gadis-yang-ingin-kau-bunuh-secara-harfiah? Oh, dan jarak di antara mereka mungkin hanya dua jengkal.

            Ketika hal itu terjadi pada Allison, ia merasa seakan Miley Cyrus dan bola besinya dalam video Wrecking Ball menghantamnya keras-keras.

            Well, ya. Allison melihat semuanya.  

            Kenyataannya, tadi ia pergi ke wastafel itu bersama Ashton. Namun, begitu melihat Luke dan Dev Woodley, Ashton langsung tahu apa yang harus ia lakukan, sedangkan Allison lebih memilih untuk mengamatinya dari jauh. Sebenarnya Allison bisa saja ikut melabrak mereka dan menghajar Dev, namun ia tak melakukannya – ia tak ingin berurusan lagi dengan Dev, karena ia tahu pada akhirnya ia akan kalah.

            Ketika Allison melihat pintu kayu yang terbuka di dekat sebuah meja, kakinya seakan menyeretnya ke sana. Ia berjalan melewati pintu itu dan sekejap mendapati dirinya berdiri di sebuah lorong, dihimpit sebuah dinding bercat putih dan sebuah dinding bata yang lebih rendah. Ketika ia mendongak, yang bisa ia lihat adalah langit malam yang gelap, dihiasi beberapa bintang yang berpendar.

            Mungkin aku bisa menenangkan diri di sini. Allison bersandar pada dinding dan menarik napas, lalu menghembuskannya lambat-lambat sambil mendongak memandang langit.

            Dev… Si Bawal Penyosor… Oh, astaga! Apa tadi ia mencoba untuk mencium Luke? Berbagai pikiran negatif itu mulai mengambang naik ke permukaan, dan Allison merasa semakin campur aduk. Ia bingung apa yang ia rasakan sekarang – lelah, kesal, marah, atau… cemburu?

            “This night sucks,” Allison mendesis dan merapatkan jaketnya, lalu menendang sesuatu yang ada di dekat kakinya. Kelihatan seperti kaleng kecil.

            “Allison?” suara familiar itu tiba-tiba terdengar, membuat jantung Allison serasa membengkak dua kali ukuran normal. Tapi sungguh deh, detik ini Allison tak ingin mendengarnya. Gadis itu menghela napas keras dan menoleh, hanya untuk melihat Luke berjalan mendekatinya.

            “Ada yang perlu dijelaskan?” tanya Allison, lalu ia mendongak untuk kembali memandang langit.

            “Kuharap kau tidak salah sangka,” Luke kini berdiri di samping Allison, menelan ludah gugup. “Aku bisa menjelaskannya,” katanya, lalu tanpa menunggu respons dari Allison, ia mulai mengungkapkannya. Tentang kronologis bagaimana-gadis-jelmaan-setan-itu-menarikku-dan-menyudutkanku, hingga tentang Mr. Geoff-yang-menyebalkan-membuatku-terlibat-dalam-program-bodohnya-bersama-Dev.

            “Hmmm,” dan Allison hanya terus menanggapinya dengan ber-hmm-hmm ria. Padahal sekarang batinnya berkecamuk hebat. Luke. Dev. Tutor. Pertemuan. Berdua. Kata-kata itu kini berputar dalam kepalanya, dan setiap detik terasa semakin menyiksanya. Hingga akhirnya, setelah jeda beberapa detik yang terasa sungguh menyiksa, Luke kembali bersuara.

            “Pertemuan pertamaku dan Dev dalam program itu bakal jadi pertemuan terakhir juga,” ujar Luke. Mata birunya bergerak melirik Allison. “Atau mungkin kita tidak akan melakukan pertemuan. Entahlah. Aku tak terlalu peduli.”

            “Hmmmm.”

            “Allison? Kau mendengarkan penjelasanku, kan?”

            Allison menghela napas, lalu menoleh ke arah Luke. “Aku mendengarnya, kok,” katanya, masih berusaha memasang ekspresi datar, hingga tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan meraih tangannya, menggenggamnya. Dua tangan yang sama-sama dingin, namun menimbulkan kehangatan ketika menyatu. “Aku mendengarkannya.”

Ups, Downs, & The Heart Bombs ✖️ hemmings [a.u.] || SLOW UPDATESWhere stories live. Discover now