Bagian 21

17.2K 1.4K 103
                                    

Hesa tengah mematut diri di depan cermin. Membubuhkan riasan yang sedikit tebal untuk menyamarkan parasnya yang pucat. Matanya yang sipit sembap oleh tangis semalam.

Hesa harus bersyukur karena terlahir menjadi gadis yang cantik jelita. Kulitnya putih menurun dari ibunya. Memiliki darah campuran Indonesia Korea. Tingginya 170cm. Tubuhnya molek, ramping, dan memiliki pinggul yang menggoda. Perawakannya matang di usianya yang masih belia. Banyak yang mengira dirinya anak kuliahan saat ia tak mengenakan seragam sekolah kala itu. Jika sudah berdandan layaknya gadis dewasa, semua jantan pasti akan meliriknya.

Gue udah di depan.

Pesan dari Salma membuatnya segera beranjak dari tempat duduk. Meraih tas tangannya dan mengenakan flat shoes, lantas melangkah keluar kamar.

Dimainkan gawai untuk berkirim pesan dengan sang suami, meminta izin. Rencananya hari ini ia akan berziarah ke makam kedua orang tuanya yang sangat dirinduinya. Dan mungkin nanti akan mampi-mampir dulu untuk berbelanja.

Kedua gadis itu melangkah beriringan memasuki pemakaman elite khusus kaum berduit. Hesa menaburkan bunga mawar merah di tanah kuburan sang ayah dan ibunya yang bersebelahan. Mulutnya komat kamit merapalkan doa. Salma yang duduk di sampingnya turut menengadahkan kedua telapak tangan.

Pa, Ma, Hesa kangen. Andai surga itu dekat, pasti Hesa akan setiap hari mengunjungi kalian.

Hesa selalu berdoa semoga Papa Mama bahagia di sana.

Maaf Hesa tak bisa lama-lama di sini. Takutnya nanti malah Hesa semakin kangen dan nggak bisa berhenti nangis.

Dikecup kedua nisan itu secara bergantian sebelum berdiri dari simpuh.

"Kita lanjut ke tempat Tante gue, Mon!" Ujar Hesa saat sudah berada di dalam kendaraan.

Salma mengangguk. Honda Jazz miliknya kembali melenggang ke tempat pemakaman lain. Jaraknya cukup jauh beberapa kilo meter dari sebelumnya.

"Sa, bukannya itu lakik lo?" Salma menuding lelaki yang tengah membeli bunga di depan gerbang masuk area pemakanan.

Hesa tertegun. "Puter balik deh, Mon. Kapan-kapan aja ke sini."

"Why?" beso Salma bingung.

Hesa sedang tidak mood untuk menjelaskan. "Udah puter balik cepet!"

"Iya tapi kenapa? Kita udah jauh-jauh ke sini. Lagian aturan lo temuin suami lo. Sekalian nyekar bareng. Kalau ada yang mimpin doa kan bagus, malah lebih afdal."

Hesa menggeleng lemah. "Nggak usah ngebantah, buruan puter balik! Atau gue bakal turun dan naik taksi."

"Ck! Ini nih yang gue nggak suka dari lo!"

Kedongkolan yang tertahan itu tergambar jelas di wajah Salma. Sesama perempuan seolah bisa memahami emosi sahabatnya yang naik turun semenjak hamil. Suasana hening. Tak ada percakapan di antara mereka, sampai kendaraan mini itu menepi di salah satu swalayan.

"Lo ada masalah?" Sahabatnya ini tak tahan untuk memuntahkan rasa penasaran saat mendapati Hesa menangis dalam diam.

Hesa tak menjawab, tangannya memungut tisu untuk menghapus air matanya. Sebenarnya ia ingin berbagi keluh kesahnya pada Salma, tapi Hesa terlalu lelah.

"Trus kenapa lo nangis?" Kejar gadis itu.

Hesa masih tak merespon.

"Dengar!" Salma mengubah posisi tubuhnya menghadap Hesa. "Gue bakal ngomong kasar tapi ini juga demi kebaikan lo! Sebenarnya kurang apa sih hidup lo? Lo kaya. Lo punya segalanya. Lo bisa beli apa aja yang lo mau. Lo memiliki suami yang baik, yang cinta sama lo. So, apa yang bikin lo ngerasa jadi cewek paling menderita sedunia, hah?"

MAHESWATI (TAMAT)Where stories live. Discover now