Bagian 2

33.2K 2K 37
                                    

"Saya terima nikahnya Maheswati Primaningtyas Baskoro binti Baskoro dengan maskawinnya yang tersebut tunai."

Sudah satu bulan, kalimat sakral itu masih saja berdenging di telinga Hesa, tiap kali melihat sosok Hakim. Apalagi mereka tinggal serumah namun beda kamar, tetap saja sosok berkacamata yang berkeliaran di sekitarnya itu membuat Hesa sedikit risi. Terlebih sekarang pria itu menjadi suaminya.

Ya Tuhan! Demi Neptunus dan seisinya. Hesa masih tak terima jika statusnya kini adalah wanita bersuami dengan dua anak tiri yang hampir seumuran dengannya.

Hesa tidak memiliki siapa-siapa selain keluarga Hakim. Ayahnya meninggal selang beberapa menit usai pelaksanaan ijab. Sedihnya jangan ditanya. Tak ada satu pun kalimat yang mampu menggambarkan perasaannya kala itu. Terpuruk, dan hancur.

Hesa benar-benar tak menyangka takdir hidupnya akan seperti ini.

Pandangan Hesa kosong pada lembaran yang berisi rumus-rumus pelajaran matematika. Salah satu lengannya ditekuk untuk menyangga dagu. Hesa dipeluk lamunan yang cukup lama. Fokusnya terbelah. Ini tak baik, sebab minggu ini ia tengah menjalani ujian kelulusan.

"Kak Hesa, ayo turun! Makan malem udah siap. Ditunggu Papa tuh." Jinan berteriak dari balik pintu kamarnya.

"Okay. Bentar," jawab Hesa. Lantas ia bergegas merapikan buku pelajarannya, dan turun untuk makan malam bersama.

"Kak Hesa, makannya ogah-ogahan gitu ih." Teguran Jinan membuat Hesa langsung salah tingkah. Mungkin gadis itu menangkap gestur malasnya saat menyendok nasi.

"Nggak, kok," elaknya. "Makanannya enak! Nih." Hesa buru-buru memasukkan potongan daging sapi ke mulutnya, dan mengunyahnya penuh nafsu. Ia bermaksud ingin mematahkan persepsi Jinan pada dirinya. Meskipun harus menahan hambar.

Sejurus kemudian kunyahannya langsung terhenti, matanya bersirobok dengan mata hitam pria di depannya. Tatapan pria itu seakan memaku Hesa.

"Orang dari tadi kayak nggak nafsu gitu," kejar Jinan tak mau kalah.

Hesa menggeleng cepat. "Naf-su kok."

"Kak Hesa lagi sakit?" Kali ini Jihan ikut menyerangnya. "Aku perhatiin sekarang kak Hesa banyak diem."

Glek.

Hesa kehilangan kata. Si kembar benar, perubahannya memang sangat kentara dalam sebulan terakhir ini. Mungkin ia harus lebih bijak menyikapi masalahnya, untuk menghindari segala bentuk kecurigaan dua bocah itu.

Namun, suara bas Hakim segera menginterupsi, membuat kedua putrinya langsung terdiam. Hesa pun bisa bernapas lega, merasa terbebas dari interogasi tak mengenakan. Dan, suasana dapur yang kembali sepi, mau tak mau menyeret ingatan Hesa pada sosok malaikat yang selama ini menjelma sebagai ibu angkatnya. Yaitu, Tante Prisa.

Setelah mengambilkan makanan untuk pamannya, biasanya, Tante Prisa akan melayani Hesa, baru kemudian si kembar. Tante Prisa selalu menganggap Hesa sebagai putri sulungnya, yang harus didahulukan, serta mendidik dan memanjakan Hesa tanpa membeda-bedakan. Malah terkadang Hesa lebih diutamakan.

Suatu ketika, Jihan pernah mengatakan hal yang tidak sepatutnya kepada Hesa. Tante Prisa yang mengetahui itu, langsung menegur Jihan dan menyuruhnya minta maaf. Tante Prisa memberi ultimatum pada kedua putrinya untuk menghormati Hesa layaknya seorang kakak.

Dan sekarang, Hesa merasa seperti anak yang tak tahu diuntung. Bagaimana bisa ia balas kebaikan ibu angkatnya dengan merebut suaminya? Hesa merasa sudah menjadi pengkhianat terkejam dalam rumah tangga ini.

Maafkan aku, Tante. Maafkan aku ....

Setelah resmi berstatus suami istri, Hesa dan Hakim sepakat merahasiakan pernikahannya. Ralat, lebih tepatnya Hesa yang meminta Hakim untuk merahasiakan. Jadi, tidak ada yang tahu selain mereka berdua dan juga saksi-saksi pernikahan mereka. Hesa juga melarang Hakim untuk memberitahu si kembar, sampai ia merasa sudah siap lahir batin menerima takdir. Dan semua permintaan Hesa dituruti oleh lelaki itu, mungkin karena Hakim sudah lelah untuk berdebat.

MAHESWATI (TAMAT)Where stories live. Discover now