Empat

51 13 13
                                    

"Gimana, berhasil?" tanya Nata dengan wajah antusias. Dia sampai langsung mencegat  Zeyan di simpang rumahnya.

Mereka berdiri di pinggir jalan, di bawah pohon rindang.

"Apanya?" balas Zeyan tanpa merasa berdosa.

"Astaga! Lo lupa? OMG. Demi ya, Ze lo parah." Nata terus menginjak-injak aspal tempat pijakan kakinya berdiri dengan tak henti. Lalu, Nata mengusap wajahnya kasar. Sejak kapan Zeyan seorang remaja laki-laki yang dikenalnya sejak kecil berubah menjadi remaja laki-laki yang telmi? Benar-benar di luar dugaan.

Sesudah melihat wajah Nata yang sangat kacau, Zeyan jadi merasa lucu. Sejujurnya dia tau maksud Nata. Namun, dia hanya bingung akan menjawab bagaimana. Jika dia menceritakan hal sebenarnya, maka habislah dia diterkam Nata.

Tanpa sadar, Zeyan tertawa, "Bahakakak," tawanya tanpa sadar. Dan hal ini secara otomatis mengehentikan aksi konyol Nata yang tak jelas sedang apa.

"Astaga! Sekarang Lo kesurupan, Ze? Ya ampun! Teman gue sekarang kurang iman, astaga," celetuk Nata tanpa menyaring perkataan nya terlebih dahulu.

Melihat tuduhan Nata semakin menjadi-jadi, akhirnya Zeyan mengakhiri itu semua.

"Gak berhasil. Gue belum dapat fotonya. Lain kali mungkin," seru Zeyan cepat dan membuat wajah Nata menoleh cepat ke arah nya.

"Gitu ya? Ya udah deh." ucapan Nata barusan sungguh kedengaran sangat miris. Wajahnya menunduk dengan nada suara yang setengah menghilang. Kakinya mulai digesek-gesekan nya pada aspal jalan.

"Gue udah usahain, tapi susah. Besok gue coba lagi," balas Zeyan yang tak enak melihat respons dari Nata yang menurutnya berlebihan sedihnya. Mendengar itu, mata Mata langsung berbinar lagi. Dia kini meloncat kegirangan. Benar-benar seperti anak kecil. Mudah sekali mood nya berubah-ubah.

"Lo janji ya, Ze?" seru Nata keras. Dia mendekatkan jari kelingkingnya pada Zeyan, agar bertautan dengan kelingking Zeyan.

Zeyan tak menggubrisnya. Zeyan malah langsung pergi dan meninggalkan Nata seorang diri di persimpangan itu.

"Zeyan! Awas lo ya. Liat aja kalau gue udah satu sekolah sama Lo. Gak bakal gue nitip ke elo lagi. Argggg!" gerutu Nata kesal. Nata terus memekik dengan rasa yang di ubun-ubun. Ibarat kalau ini adalah kartun, mungkin kepala Nata sudah mengeluarkan asap, atau mungkin kepala nya sudah menjadi merah padam.

🌌🌃

Malam harinya, saat Nata, kakak, Mama dan Papanya makan malam, Nata mulai angkat suara.

"Ma, Pa. Nata bisa minta satu hal?" tanya Nata dengan ragu. Dia meletakkan sendok nya di atas piring yang masih setengah termakan.

"Jangan mau, Ma, Pa. Pasti dia minta yang aneh-aneh," celetuk kakaknya dengan mulut yang masih berisi nasi. Dan setelah itu dia malah terbatuk, karena berbicara di saat mulutnya berisi makanan.

"Kualat kan, kak! Makanya jangan asal nuduh. Rasain tuh!" balas Nata dengan tatapan kemenangan. Dilihatnya kakaknya tengah minum air putih dengan cepat, untuk menurunkan nasi yang menyangkut di kerongkongannya.

"Kalian ini! Jangan berantam. kalian sudah besar." Nasihat mamanya dengan sabar.

Barulah Nata dan Kakaknya terdiam. Setelah itu senyap. Tanpa menunggu waktu, Papanya Nata angkat suara kali ini.

"Memangnya mau minta apa, Nak?" tanya Papanya lembut.

"Ah.. itu, apa ya tadi? Gara-gara kakak nih, aku jadi lupa. Gak Jadi deh, Pa," balas Nata dengan cengengesan. Sebenarnya dia tidak lupa. Hanya saja takut bila setelah mengutarakan maksud hatinya untuk pindah sekolah, dia akan diomeli habis-habisan.

"Yang jujur, Nata. Jangan bohong, Papa gak pernah ngajarin kamu bohong. Apa itu?" tanya Papanya lagi dengan nada yang berbeda, membuat bulu kuduk merinding.

Kalau sudah begini, Nata cuma bisa jujur. Papanya adalah tipe orang yang bisa melihat kejujuran dari mata, dan Nata tak bisa berbohong.

Setelah diliriknya wajah Mamanya, seolah meminta bantuan, namun mamanya malah melihat arah lain. Jadilah Nata harus jujur.

"Nata pengen pindah sekolah, Pa," serunya dengan suara yang rendah. Nada bicaranya juga terdengar tidak yakin, bercampur ketakutan.

"Pindah ke mana, Nak?" balas Papanya sudah mulai melembut, tidak seperti tadi lagi.

"Ke-- SMA D-arma Wi-nata, tempat Zeyan sekolah, Pa," balas Nata terbata. Dan Nata ingin rasanya sekarang pergi ke kamarnya. Namun, tidak bisa.

"Apa?! Yang benar saja kamu, Nata. Itu sekolah internasional, yang masuk sana gak sembarangan anak. Uang sekolahnya untuk yang reguler juga mahal, uang dari mana buat pindah ke sana?" Nah, kalau yang ini pasti sudah Kak Arini, kakaknya Nata yang berbicara. Masalah Papa dan Mamanya Nata, mereka tidak tahu-menahu masalah sekolah yang dibicarakan 

"Benar begitu, Nata?" tanya Papanya dengan nada dingin. Ingin sekali rasanya Nata pergi ke kamarnya, namun tak bisa.

"Benar, Pa," balasnya lemah.

"Kamu tau kan situasi keluarga kita gimana?" Mendengar Papanya sudah berbicara seperti itu, Nata hanya diam. Nata bukanlah keluarga yang kaya raya. Hanya keluarga sederhana, oleh sebab itu sangat mustahil baginya udah satu sekolah dengan Tae Elyastha.

"Iya. Nata tau, Pa," seru Nata setelah berdiam beberapa detik, untuk menenangkan detak jantungnya yang tidak terkontrol.

"Ya sudah, kalau begitu kamu tau kan  jawabannya, Nak?" seru Papanya Nata dengan lembut. Papanya mengusap rambut Nata dengan lembut, untuk mengurangi rasa keterkejutan Nata atas sikap Papanya tadi.

"Pa, Ma, Kak, Nata duluan ke kamar ya, mau belajar," seru Nata yang sudah berdiri, menggeser bangkunya ke belakang, lalu berjalan ke arah kamarnya dengan langkah gontai.

Sesudah memastikan bahwa Nata sampai kamarnya, barulah Mama dan Papanya Nata berdiskusi lagi.

"Kamu kenapa gitu ke Nata, Mas?" tanya sang Istri pada suaminya dengan lembut. Mamanya Nata benar-benar kasihan pada Nata.

"Sudahlah, Ma. Jangan kasih Nata harapan, dia juga pasti mengerti."

Sesudah mendengar balasan dari suaminya, Mamanya Nata hanya bisa menunduk lemas dan langsung membereskan piring kotor yang ada di meja makan.

Nata memang bukan anak yang cerdas seperti Zeyan. Namun, Nata ingin sekali bersekolah di sekolah itu. Apa Nata salah? Dia hanya ingin mengabulkan satu keinginannya sejak dulu, yaitu bertemu dengan Tae Elyastha.

Hanya saja, cara Nata yang salah.
Nata harus berpikir keras untuk menemukan cara lain agar bertemu dengan Tae Elyastha.

***---****

Cinta Minus AkalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang