12. Promise For Ayari

Mulai dari awal
                                    

"Ibu menemukan sesuatu yang berbahaya tapi berguna untuk umat manusia, Lik. Itu yang membuat ia dikejar-kejar.  Karena ia tak pernah muncul, royalti benda itu pun di-postpone. Sampai nanti saat Ayari yang akan mewarisi hak royalti itu. Nanti saat usianya 18 tahun."

Setelah kejadian itu, aku tak pernah melihat Ibu lagi. Bahkan ketika kami kembali ke rumah besar. Hingga Bapak menitipkanku pada rekannya. Tak ada yang mengurusku, begitu alasannya.

Tapi Bapak berjanji, akan menyediakan semua yang kubutuhkan. Sampai aku mampu menghidupi diriku sendiri.  

Menjadi tentara di Angkatan Darat adalah pilihan akhirku sebelum benar-benar hidup dengan kemampuanku sendiri.

Bapak Syah Rahman Aditya tetap hadir dalam semua acara kelulusan sekolah, penghargaan bahkan ikut mengantarku saat bertugas sebagai perwakilan negara untuk PBB di daerah Timur Tengah.

Perannya sebagai Bapak, ia jalani dengan sungguh-sungguh. Walaupun tetap saja, aku merindukan Ibu.

Sebuah kecelakaan karena ranjau membawaku kembali ke Jakarta, menjalani operasi sebelum akhirnya Bapak yang kuatir memintaku berhenti.

Patuh dengan sarannya, aku bergabung di perusahaannya, menjadi bodyguard sekaligus pelatih bela diri profesional.

Aku tak pernah bertemu Ayari, tidak satu kalipun sejak kami terpisah. Aku tidak mau.

Di hadapan gadis itu, aku takut kerinduan pada Ibu akan membuatku menjadi pria lemah. Ibu yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak dan informasi apapun. Bahkan Pak Rahman sendiri tak pernah mau menjawab pertanyaanku.

Aku berhenti ketika makin lelah menghadapi klien-klien sombong dan kadang menyebalkan. Kembali ke pertanian yang dulu pernah menjadi rumah sementara kami setelah Ibu pergi, menjadi peternak sekaligus petani.

Ini lebih menyenangkan dan lebih menenangkan. Mengisi siang hariku dengan bekerja mengurus pertanian, lalu menulis di malam hari untuk menyalurkan ilmu pengetahuan buat yang lain. 

Setahun berlalu, dan tiba-tiba Pak Rahman muncul di belakangku.

"Saya butuh kamu, Lik."

"Tapi saya sudah berhenti, Pak."

"Saya mohon, Lik. Saya tidak tahu lagi harus percaya sama siapa. Beberapa bulan lagi Ayari 18 tahun dan kamu sendiri tahu apa yang akan saya hadapi."

Aku mengangguk. Tapi itu tak ada hubungannya denganku. Aku bukan siapa-siapa.

"Ayari itu berbeda dengan ibunya, Lik. Dia... dia sangat emosional. Saya gak tahu lagi harus titip ke siapa. Tak ada yang sanggup."

"Mas Doni?"

"Doni harus kembali ke kantor pusat. Ia harus menghandle semuanya sebelum hari ulang tahun Ayari. Minggu ini saya harus hadiri konferensi di Jenewa dan tak ada siapapun yang bisa saya percayai selain kamu."

Menolak mentah-mentah hanya akan membuat Pak Rahman semakin penasaran. Tapi menerima pekerjaan ini juga aku tidak suka.

Klien yang dulu kutangani kebanyakan para pejabat yang sudah berkeluarga, ada beberapa yang sudah punya anak gadis dan sejujurnya, mereka itu justru menjadi beban bagiku saat bertugas menjaga orangtuanya.

Karena itu, aku paling tidak mau berurusan dengan anak muda apalagi anak perempuan.

Saat aku hendak menolak, ponsel Pak Rahman berbunyi. 

"Ya halo Doni? Ada apa?" tanya Pak Rahman. Wajahnya yang tadinya tenang, berubah gelap saat mendengar laporan dari Doni.

Pak Rahman melirikku. Rahangnya mengeras. Sesuatu telah terjadi. Aku berdiri. "Mereka mulai bergerak," katanya padaku sebelum kembali bicara pada Doni.

Tubuhku menegang. Teringat wajah malaikat kecil yang dulu pernah diperlihatkan seorang bayi perempuan mungil yang digendong Bu Kasih.

Aku masih ingat betapa mungilnya tubuhnya, hingga aku sempat tak berani menyentuhnya. Memikirkan kemungkinan seseorang akan menyakiti malaikat kecil itu, aku tak bisa lagi berpikir. 

Aku ke kamarku, menge-pack ransel besarku. Membawa apapun yang biasa kugunakan saat bertugas. Menelpon dua karyawan kepercayaanku agar segera datang. Mereka akan tiba saat aku dan Pak Rahman sudah pergi, jadi ku-briefing mereka melalui telepon sambil terus bersiap.

Tak sampai setengah jam, aku sudah turun dan Pak Rahman sudah menungguku di teras. Malam itu, kami mencari penerbangan tercepat untuk segera sampai.

Dan bayi berwajah malaikat itu kini sudah menjadi gadis. Wajahnya masih secantik dulu, meski matanya ... aneh.

Mata itu menatapku dengan emosi saat kami pertama kali bertemu. Tapi, makin lama makin sering aku menangkap kesenduan di sana.

Ia lebih suka melamun, duduk sendiri, memandang bulan dan menatap orang diam-diam. 

Ayari Nayla Putri

Aku ingat saat Bu Kasih memintaku memilih nama. Ayari. Itu nama panggilan yang kupilih, untuk bayi mungil berwajah malaikat yang dulu mudah sekali tertawa. Kini, jangankan tawa, senyum saja bibirnya hampir tak pernah. 

Bu... putri mungilmu itu berubah. 

Ketika ia melupakan satu kejadian, barulah aku mengerti maksud 'emosi' yang dikatakan Pak Rahman dan Bu Irna, istri kedua Pak Rahman. 

Bayi mungil itu tak hanya berubah. Ia sakit. Fisik dan mental. Tubuhnya kurus dan wajahnya selalu pucat.

Dari informasi Pak Rahman, Ayari jarang masuk sekolah karena gampang sakit.

Tak hanya itu, emosi gadis itu sudah berada dalam tahap menyedihkan. Ia bahkan melupakan kejadian yang membuat emosinya bangkit.

Aku benar-benar tak percaya kenyataan ini. 15 tahun ini aku mengira, bayi kecil itu hidup baik-baik saja. Tumbuh normal seperti gadis lainnya.

Bukan seperti Ayari yang seperti sekarang. Gadis yang hanya ingin menyingkirkanku dari hidupnya. Bagaimanapun caranya.

Tapi... saat aku mengira bisa mengubahnya, aku justru mengubah pandanganku terhadapnya.

Ayari tak seperti yang kukira, ia masih putri Pak Rahman dan Bu Kasih yang dulu. Ia hanya membungkus dirinya karena kesepian.

Aku tahu itu, karena ternyata  saat ia membuka diri sedikit, aku bisa melihat senyumannya. 

Saat melihatnya memeluk leherku sambil berteriak membelaku, aku tahu inilah Ayari yang sebenarnya. Gadis yang tak tega menyakiti siapapun.

Aku bahkan tak bisa bicara, saat melihatnya menangis tersedu-sedu sambil mengobati tanganku. Tangannya begitu dingin dan bergetar, mengoleskan salep dan membalut telapak tanganku penuh kehati-hatian.

Mulutku terkunci rapat. Bukan karena aku menyalahkannya. Bukan karena aku marah padanya. Tidak sedikitpun. 

Tapi itu karena hatiku. Setiap deraian airmatanya yang jatuh, hatiku juga terbebani. Makin lama makin berat. Sampai nafasku terasa sesak. Sungguh menyakitkan melihat airmatanya yang mengalir karena aku itu.

Aku akan melindungimu, Ayari. Aku akan membuat cahaya matamu yang sendu berubah. Tak ada siapapun yang akan melukaimu, dan airmata yang jatuh itu akan kubayar semua dengan seluruh jiwa ragaku. 

Aku janji, Ayari.

****



My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang