Bab 3

16.7K 1.1K 32
                                    

Rania tersenyum dan mengeratkan pegangannya pada kemeja Arvin. Pria itu pun menanggapinya dengan senyuman dan mengurangi kecepatan motor karena merasa udara dingin semakin menusuk tulang. Pandangan Arvin sesekali mengedar. Ia pun tersenyum ketika melihat sesuatu, kemudian berkata, "Kamu lihat yang di atas pohon itu?"

"Jangan sebut-sebut," bisik Rania sambil refleks mencubit pinggang Arvin.

Arvin terkekeh setelah mengaduh. Ia merasa nyaman berinteraksi dengan Rania. Jarang sekali hal ini ia alami. Arvin memang orang yang mudah berkomunikasi dengan orang baru. Namun, ia tak mudah merasa nyaman dan dapat berekspresi dengan lepas seperti saat ini.

"Oh iya, kamu bekerja di bagian kesehatan, ya?" mulai Arvin ketika merasa suasana berubah sunyi.

"Nggak. Memangnya kenapa?" Rania menatap Arvin dari kaca spion sambil mengulum senyum.

"Sudah pernah menemani orang melahirkan atau malah sudah pernah melahirkan?"

Kontan saja Rania terkekeh. Ia menggeleng beberapa kali. "Ini pertama kalinya aku melihat bahkan membantu orang melahirkan. Pernahnya melihat proses melahirkan itu di Youtube. Itu pun karena nemenin temen yang lagi ngerjain tugas tentang melahirkan gitu" Sesaat Rania menatap Arvin dari samping ketika pria itu sedikit menoleh ke sisi kanan. "Dan aku belum pernah melahirkan. Nikah aja belum."

"Tapi kamu bisa setenang tadi. Nggak nyangka aja cuma berbekal nonton di Youtube."

"Iya, ya? Aku juga nggak nyangka." Senyuman Rania mendadak hilang, pandangannya tampak jauh. "Tapi gara-gara tadi, aku makin pengin ngerasain hamil, ngelahirin, ngerawat bayi, dan mendidik mereka. Kayaknya itu perjuangan yang menyenangkan."

"Menyenangkan?" gumam Arvin yang tidak sampai telinga Rania.

Saat mereka sudah sampai di tempat Arvin meninggalkan mobil, Rania segera turun dari motor diikuti Arvin. Pria itu kemudian menyetandarkan motor dengan standar utama, melepas helm dan menyerahkannya pada Rania. Kemudian ia menyuruh Rania untuk menunggunya yang kini membuka pintu mobil. Tak lama, Arvin menyerahkan sebuah buku kecil dan pena. "Tolong tulis nomor Hape kamu." Samar-samar melihat Rania mengerutkan kening, Arvin segera memperjelas kalimatnya. "Untuk ngasih kabar kalau mau ngembaliin jaket kamu."

Rania menerima kedua benda itu dan segera menuliskan nomor ponselnya. Setelah itu, ia menyodorkan kembali sambil berkata, "Sebenarnya nggak apa-apa kalau jaket itu mau dipakai sama ibu tadi. Tapi ... dokter beneran tahu jalan menuju jalan raya sesuai arahan bapak tadi?"

"Iya." Arvin memperhatikan Rania dari atas sampai bawah dan berpikir sejenak. "Bagaimana kalau kamu yang nyetir mobilku, aku ngendarai motormu? Kamu nggak pake jaket soalnya."

"Dokter yakin nanti mobilnya aman-aman aja kalau aku yang nyetir?"

Arvin mengangkat bahu. Tubuhnya sudah bersandar di sisi mobil dan ia memperhatikan Rania yang mulai mempersiapkan diri untuk melajukan motor. "Setidaknya kamu bisa nyetir mobil, kan?"

"Nggak. Tahu caranya aja nggak," balas Rania santai. "Kalau begitu, ayo segera pulang, Dok. Nanti aku dicariin."

Mereka kemudian mulai melajukan kendaraan masing-masing dan Arvin di depan sebagai penunjuk arah. Namun, ia tak mengendurkan pengawasan pada Rania yang mengikutinya. Gadis itu tampak hanya fokus pada mobil Arvin dan pria itu merasa ketakutan yang menjalar di dalam diri Rania. Sayangnya, fokus Arvin pecah ketika ia menemukan beberapa gang sampai akhirnya ia nekad mengambil jalan yang menurutnya sesuai petunjuk salah satu warga tadi. Dan ternyata, pilihannya benar. Jalan raya mulai kelihatan. Arvin kembali memperhatikan Rania dari spion samping. Gadis itu tersenyum lebar.

"Dok, makasih, ya. Kita belok kiri. Terus nanti kalau ketemu jalan raya yang lebih ramai, aku ambil kiri lagi dan Dokter belok kanan, ya." Rania berada tepat di samping mobil Arvin yang kaca jendelanya sengaja diturunkan.

Kontrak ✅Where stories live. Discover now