Bab 5

16.1K 1K 45
                                    

Rania terus menggendong Gavin saat bayi itu diperiksa oleh dokter. Gayanya sangat lembut seolah ia mengenal Gavin sangat lama. Lalu, sosok Arvin memasuki ruangan dan langsung bergabung. Tanpa alarm apa pun, mereka dengan kompak mendengarkan analisis dokter pria berkepala botak yang baru saja memeriksa Gavin dengan saksama. Tanpa sadar, tangan Rania mengusap kepala Gavin dengan lembut. Dan, Gavin yang sebelumnya rewel ketika digendong pengasuhnya, kini sangat tenang. Bahkan, bayi laki-laki itu beberapa kali menyandarkan kepalanya di dada Rania. Gerakannya membuat tatapan Arvin tak teralihkan dari Rania, begitu pun dengan pandangan menelisik dari dokter spesialis anak yang masih tetap tampan walau usianya tak muda lagi.

"Saya baru tahu Dokter Arvin sudah menikah," ucap dokter yang kini baru saja menuliskan resep untuk obat Gavin.

Arvin menatap Rania yang juga menatapnya, tetapi tak lama. Gadis itu langsung menunduk untuk menyembunyikan kebingungan karena ia tidak tahu apa yang tengah Arvin rencanakan. Dan Arvin pun kembali menatap dokter senior yang belum lama bergabung di rumah sakit swasta tempat Arvin bekerja ini. Sebelum berbicara, ada lengkungan indah di bibir Arvin.

"Mungkin karena kita belum lama kenal, Dok." Arvin menerima uluran resep, lalu berusaha membantu Rania berdiri.

Sesampainya di luar, Arvin berbisik pada Rania sebelum berjalan menjauh. Tepat setelah Arvin menghilang dari pandangan Rania, gadis itu mendapat panggilan dari petugas di poli kandungan. Tiba-tiba ia dilanda kebingungan walau tetap berjalan menuju pintu masuk sambil bergantian menatap Gavin dan juga pintu di depannya.

"Maaf, nanti bisa minta tolong menggendong anak ini?" tanya Rania pada perawat magang yang berdiri di dekat bed rawat.

"Anak siapa ini?" tanya dokter spesialis kandungan yang hendak memeriksa Rania.

"Anak teman saya, Dok," balas Rania yang kemudian tersenyum.

Dokter wanita berkerudung yang duduk sambil memeriksa catatan medis milik Rania itu kemudian mengangguk dan tersenyum. "Bagaimana dengan terapi hormonnya? Apa ada kendala? Pusing, mual, perdarahan, atau ada keluhan lain?"

"Tidak, Dok. Hanya sering mengalami flek-flek cukup banyak kalau saya kecapean."

"Itu normal, kok. Coba kita USG dulu, ya." Dokter itu kemudian berdiri.

Rania mengangguk. Ia mencoba memberikan Gavin pada perawat perempuan yang tampak cekatan menerima bayi laki-laki menggemaskan itu. Kemudian, Rania merebahkan tubuh dan mulai menjalani pemeriksaan.

"Bagus. Sudah tidak kelihatan kistanya."

Pintu diketuk dari luar dan samar-samar Rania mendengar salah satu perawat menyebut nama 'Dokter Arvin'. Tak lama, ia benar-benar melihat sosok Arvin yang tengah berjalan ke arah mereka. "Maaf, Bu dokter cantik, saya mau menemani."

Tatapan dokter spesialis kandungan itu langsung berpindah ke Rania. Ia memastikan sekali lagi dengan menatap Arvin yang kini malah mengangguk dan tersenyum. Pria tampan itu kemudian mengambil Gavin dari gendongan perawat yang tampak terpesona dengan sosok dokter satu ini.

"Terapinya bisa dihentikan. Hasilnya sudah baik."

"Tapi, beberapa waktu lalu ketika Dokter berhalangan hadir dan diganti Dokter Hari, beliau mengatakan jika kista ini jenisnya endometriosis, bukan kista ovarium. Bagaimana, Dok? Katanya saya harus program hamil jika nanti ingin memiliki anak."

Arvin tampak berusaha menutupi keterkejutannya. Berkali-kali ia menatap layar hasil USG dan memperhatikan hasilnya dengan saksama. Sampai-sampai ia tidak fokus mendengarkan jawaban rekan dokter yang tengah memeriksa kondisi Rania.

"Ini hasilnya." Dokter berusia 50-an itu memberikan hasil USG pada Rania dan Arvin tersadar bersamaan dengan itu. "Tidak perlu khawatir. Seperti hasil USG dari analisis tim radiologi dan dokter sebelumnya, ini kista ovarium kiri. Jika kelak memang diperlukan, ikuti saran Dokter Hari."

Kontrak ✅Onde as histórias ganham vida. Descobre agora