S2. Chapter 20

2.2K 225 23
                                    

Jimin tahu, bahwa semua hal yang akan terjadi selama kehidupan ini telah diatur bahkan sebelum kita dilahirkan. Semua orang akan membawa kisahnya masing-masing. Setiap mata akan memiliki pandangannya tersendiri, tidak terkecuali paru-paru yang akan menghirup udaranya sendiri. Dia sangat amat tahu. Bukankah itu artinya kita mesti lebih santai dan menjalankan saja semua yang sudah ada. Hidup lebih baik, tanpa meributkan apa yang dimiliki orang lain dan tidak kita punya.

Namun, dia pun meyakini, bahwasanya ada masa di mana iblis datang menggoda manusia. Menyelinapkan rasa egois dan ambisi yang dapat membutakan akal. Jimin pun sadar bahwa dia berada dalam saat-saat seperti itu sekarang.

Jika ada yang bertanyaㅡjikaㅡJimin sendiri juga punya kisah yang bisa dia bagikan pada khalayak ramai. Alasan yang melandasi mengapa dirinya harus menjaga Yein beserta Denish dengan baik. Kenapa dia yakin mesti mengalahkan Jungkook untuk mendapatkan gadis itu sepenuhnya. Mungkin 5.000 kata yang tergores di atas kertas tidak dapat mewakili semua itu seluruhnya.

Mungkin bisa. Namun belum saatnya. Bisa saja dilain waktu, ketika semuanya dapat dikatakan, sudah baik-baik saja.

Jadi, selepas perbincangan kecil dengan Yein tadi, dia pun kembali ke ruang kerja. Wanitanya telah tertidur, akibat kelelahan dan masih berada dalam pengaruh obat. Iris cokelat Jimin menatap jauh ke luar jendela, menangkap lampu-lampu kota yang gemerlap dikejauhan. Dia menghela napas berat, seakan keindahan itu tak dapat membantu mengurangi beban pikiran. Semua yang terjadi sepanjang hari ini membuat otaknya kembali dipenuhi khawatiran.

Jungkook telah kembali, itu artinya Yein bisa kapan saja berpaling dari dirinya. Kendati wanita itu terus mengatakan rasa sayang dan tetap bersikeras untuk menikah, Jimin masih merasa ketidakyakinan. Jimin yakin, jauh di lubuk hati Yein yang paling dalam, wanita itu masih sangat mencintai Jungkook. Ibu Denish itu pun pasti sadar, namun terlampau egois untuk mengakuinya.

Akan tetapi ketika gumam kecil terdengar dari kamar sebelah dan langsung membawa Jimin untuk menghampiri, lelaki itu pun 100% yakin tentang apa yang dia katakan barusan.

"Jungkook."

Satu kata yang keluar dari mulut calon istrinya itu telah mewakili.

Ini adalah Jung Yein yang Jimin kenal.

Masih tidak berubah. Hanya semakin pandai berpura-puraㅡsukses membuat dada Jimin sesak. Kepalanya berat. Dan paru-paru serasa ditekan hebat, seperti kehilangan pasokan oksigen selama berhari-hari. Pernah merasakan nyeri di ulu hati yang teramat menyiksa? Menekan setiap sisi membuatmu ingin berteriak, namun tidak bisa. Jimin merasakan dengan sempurna sekarang.

Berulang kali dia bertanya pada diri sendiri, "Apa yang mesti kulakukan? Apa aku harus merelakan Yein kembali pada Jungkook? Apa aku harusnya mengalah?"

Melupakan suatu hal yang sudah sering kau lakukan tak akan semudah menjentikan jari atau membalikkan telapak tangan, bahkan berkedip. Tidak semudah itu. Dan untuk kasus Yein maupun Jimin, mereka tidak semudah itu melupakan perasaan yang mereka pendam kepada orang tersayang. Yein dengan Jungkook. Lalu Jimin dengan perasaan sepihak kepada Yein.

***

Matahari sudah mulai meninggi, walau begitu udara masih seperti sebelumnya. Lembab dan mulai terasa dingin. Namun, langkah kecil Si Bocah Jung itu tetap semangat, menapaki jalanan menuju sekolah. Sang Ibu bahkan berkali-kali mesti mengingatkan agar dia berjalan lebih santai supaya tidak terjatuh.

"Dey tidak apa-apa kok Mommy. Dey sudah besar, jadi jika terjatuh tidak akan nangis lagi," katanya tegas, walau terkesan lucu. Ucapannya dibalas kekehan kecil dari Sang Ibu yang gemas akan tingkah anaknya.

Antithesis [JJK-JYI]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang