Chapter 15

2.5K 305 38
                                    

Pria itu menatap dari seberang meja, kemudian mengangkat cangkir kopinya. Kepulan asap menyeruak dari sana, menghantarkan aroma kafein di indera penciuman. Sejenak dia menyesap, membiarkan minuman berwarna hitam pekat itu memenuhi rongga mulut.

Sedangkan, yang lain nampak bergerak gelisah, seakan setiap detik yang mereka lalui begitu riskan, dan semua itu menyangkut seluruh kehidupan di bumi. "Di mana Yein?" Dia mengulang pertanyaan yang sama. Ini sudah yang ketiga kalinya, tetapi sang lawan bicara nampak belum mau membuka suara.

Si Pirang penyesap kopi meletakkan gelasnya, tubuhnya sedikit dia tegakkan berusaha tampil dengan begitu percaya diri. Mata elangnya menelisik, sebelum berbicara. "Apa yang kau inginkan dari Yein? Bukankah dia sudah menuliskan di surat perpisahannya denganmu, tentang tidak perlu mencarinya?"

Jeon Jungkook, si lawan bicara hanya dapat mengepalkan tangan kuat-kuat. Jika tidak mengingat bahwa Park Jimin adalah satu-satunya kunci utama menemukan Yein sekeluarga, dia mungkin telah menghabisi pria itu. Membuat setidaknya luka yang dapat membawa Jimin mesti dirawat seminggu lebih di rumah sakit. Tidak. Dia tidak boleh gegabahㅡpikirnya.

"Aku mencintainya, dan itu alasan yang kuat kenapa aku masih mencarinya," jawab Jungkook.

Jimin tertawa cukup nyaring, kendati tak satupun kelucuan yang tercipta di antara keduanya. Beruntung mereka saat ini berada di sebuah ruangan private yang sengaja Jungkook sewa di salah satu rumah makan yang ada di pusat perbelanjaan miliknya.

"Cinta? Kau pasti tak akan mengatakan hal semacam itu jika tahu apa yang selama ini telah terjadi dengan Yein," kata Jimin. Bibir pemuda itu menyunging senyum sinis, membawa lebih banyak aura permusuhan.

Pria Jeon itu menautkan alisnya, tak begitu paham akan ke arah mana konteks pembicaraan ini. "Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?"

"Aku tahu kau melamar dia, Jungkook. Tapi dia menolaknyakan? Biar kutebak, sebelum menolak dia pasti mempertanyakan tentang ingatanmu atas kejadian di pesta perpisahan. Aku betulkan?"

Tenggorokan Jungkook serasa dicekat, membuat oksigen cukup sulit untuk masuk ke paru-paru. Bagaimana dia tahu?

Jimin berdecak meremehkan, sebelum kembali berbicara. "Kelihatannya apa yang kukatakan adalah kebenaran. Kau mau tahu, aku mengetahuinya dari mana?" tanya Jimin, walau pemuda itu lebih memilih menjawabnya sendiri. "Yein mengatakannya. Kau pikir siapa orang yang selalu berada di sisi gadis itu selama ini? Aku yang selalu ada di sisinya. Aku!"

"Aku tak perlu tahu itu!" Jungkook berteriak, menggebrak meja, hingga membuat kopi mereka berceceran di permukaan benda itu.

Seringaian meluncur dari bibir Jimin. "Kalau begitu, mau kuceritakan tentang apa yang telah gadis itu lalui selama enam tahun yang lalu? Ataukah tentang penyebabnya?" Jimin bertanya. "Sudah dapat kupastikan, Yein tak akan pernah sekalipun menceritakannya, bukan?"

"Apa yang kau ketahui?!" Jungkook menatap tajam, sebelum lagi-lagi suara yang keluar dari Jimin makin membuatnya tambah kesal. "Santai saja. Kita mesti membiarkan pelayan membereskan ini dan memesan kopi yang baru. Ini akan jadi kisah yang panjang."

Mereka membiarkan keheningan menyelimuti, saat beberapa pelayan masuk membereskan ceceran minuman serta membawa dua cangkir kopi lain. Jimin meneguk sedikit isinya sambil bergumam setelah pelayan pergi. "Ini lumayan enak ketimbang yang tadi."

"Baiklah aku akan memulai ceritaku," katanya. "Aku baru saja pulang dari kelas soreku, ketika aku bertemu dengannya pertama kali. Kami berkenalan dan hanya sebatas itu sampai beberapa bulan pertama."

"Kami pun pada akhirnya bekerja di sebuah kafe yang sama. Namun lagi-lagi tak banyak momen yang dapat membuat kami saling bertukar cerita. Hingga akhirnya perut Yein makin membesar, dan membuat kami para pekerja tahu bahwa dia telah mengandung saat itu."

Antithesis [JJK-JYI]✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt