Chapter 11

2.5K 323 22
                                    

"Aku mencintaimu, Yein. Ayo kita menikah."

Nafasku memburu dan jantungku berdebar. Aku mengucapkannya. Aku melamar Jung Yein, dengan cara yang tak romantis sama sekali. Bagaimana bisa aku jadi seperti ini? Apa pengaruh seorang Yein begitu besar, sampai-sampai membuat pria penakut sepertiku jadi begitu frontal begini?

Posisi kami masih tetap sama, dia nampak terkejut, tidak berbeda jauh denganku. Aku memang mencintainya dan itu jauh sebelum dia kembali lagi ke Korea. Bodohnya aku baru menyadarinya ketika melihat dia bersama pria lain.

Selama ini aku mungkin terlalu sombong, menganggap bahwa Jung Yein hanya akan bersama Jeon Jungkook selamanya. Namun ketika aku mendapatinya pergi meninggalkanku tanpa sepatah kata apapun dan kembali dengan status berbeda sebagai ibu satu orang anak, aku hanya dapat terkejut, menyangkal segala hal. Sebanyak apapun aku meyakini Yein adalah milik Jungkook seorang, sebanyak itu pula takdir menamparku dengan segala kenyataan. Bahkan ketika aku mendapati pria lain berada di sampingnya dan fakta bahwa dia juga dekat dengan Denish, otakku terus mengatakan bahwa harapanku bersama Yein adalah nol besar. Tetapi di sinilah aku sekarang, mengikuti hatiku yang terus berkata untuk merebut Jung Yein dari sisi lelaki itu, tanpa peduli apa status mereka.

"Apa kau mengingat apa terjadi saat pesta perpisahan seminggu sebelum penerimaan mahasiswa baru?" Dia bertanya.

Alisku bertautan membentuk v kecil di sana. Apa yang dia maksudkan sebenarnya?

"Bukankah itu tak ada hubungannya dengan ucapanku barusan?"

Dia tersenyum kecil, walau aku tahu itu hanya senyum yang sering ia jajakan ketika merasa kecewa. Memangnya apa sih yang terjadi di pesta itu? Seingatkan Yein bahkan tak datang ke pesta itu,jadi mengapa dia membahas tentang ini?

"Cukup jawab apa kau mengingatnya atau tidak, Jung," katanya dengan serius. Matanya menyorot begitu serius membuatku jadi tak nyaman.

"Aku lupa, yang kuingat hanya aku sudah terbangun di kamar hotelku."

Lagi-lagi dia tersenyum, setelahnya dia berusaha bebas dari kungkunganku. "Baiklah. Kau memang tak pernah mengingat semua hal saat kau mabuk Jungkook. Karena itulah kau tak pernah mengetahui kebenaran sebenarnya."

"Maksudmu apa sih Yein? Apa hubungannya kejadian itu dengan perasaanku saat ini?" tanyaku. Kini emosiku agak tersulut kembali. Oh ayolah. Apakah semua itu penting? Aku hanya ingin mengetahui tanggapannya tentang pernyataanku, tapi mengapa dia berputar-putar dengan masalah yang tak masuk akal.

"Maaf aku berbicara tak masuk akal. Maaf juga aku tak bisa menerima perasaanmu."

Aku menganga. Bukan hanya terkejut karena dia menolakku, tapi mengenai sesuatu yang nampaknya dia sembunyikan. Dan kuyakin, ini ada hubungannya tentang pesta perpisahan itu. Tapi apa yang terjadi saat itu? Mengapa aku tak mengingat sedikit pun. Kurasa aku memang mabuk saat itu, dan itu mengakibatkan aku selalu lupa setelahnya. Aku suka minum, tapi karena kebiasaan burukku yang melupakan segala hal saat mabuk, aku jadi agak jarang pergi minum.

"Terima kasih atas semuanya, aku akan mengirimkan surat pengunduran diriku besok, Tuan Jeon."

"Tidak!" Aku berseru, cukup nyaring hingga kurasa suaraku dapat di dengar orang lain di lantai bawah. "Kau tidak bisa mengundurkan diri. Kau tidak bisa meninggalkanku lagi Yein. Sudah cukup enam tahun itu."

Dia tertawa terbahak walaupun dengan nada yang teramat dipaksakan. "Kau memintaku untuk tak meninggalkanmu? Wah kau bossy sekali, Jeon. Kau bahkan tak mengingat kejadian malam itu."

"Memangnya apa pentingnya?"

"Itu penting! Semua itu penting! Apa kau tak paham?" Dia berteriak, wajahnya memerah, dan aku tahu bahwa dia begitu marah sekarang.

Aku berdecak kecal, menyiris rambutku ke belakang dengan tekanan cukup kuat. Apa yang terjadi malam itu? Kenapa Yein terus membahasnya? Otakku terus berusaha keras mencari kembali di berkas ingatan. Namun nihil. Aku tak mengingat apapun kecuali ketika aku telah sadar.

Apa dia datang kesana? Atau aku telah membuat kekacauan? Atau apa?

Aku tak tahu jawabannya.

Dia beranjak pergi, dan kuyakini tadi aku melihatnya menitikan air mata. Apa yang sebenarnya terjadi?

Pun aku menghabiskan setengah jam, tetap berdiri di tempat, membiarkan angin terus berhembus menerpa tubuhku tanpa ampun. Otakku masih berkerja keras, walau hasilnya nol. Aku mesti minta bantuan orang lain. Harus.

Sisa hari kuhabiskan dengan mencari informasi dari teman-temanku yang saat itu memang ikut berpesta. Namun semuanya mengatakan tak begitu tahu. Mereka berkata bahwa aku menghilang di tengah-tengah pesta dan mengatakan aku memang banyak minum malam itu. Saat kutanya apa mereka melihat Yein, mereka menjawab tak tahu.

Keesokan harinya aku benar-benar seperti mayat hidup. Pakaian yang belum berganti sejak semalam, tubuh yang kelelahan, dan rambut acak-acakan. Seberapa banyak aku mengingat, pun aku tak pernah tahu apa yang terjadi setelah aku mabuk malam itu. Tadi malam aku mungkin hanya tertidur lima jam saja, karena terus memikirkan Jung Yein.

Aku bahkan mesti berkerja keras untuk mempersiapkan diri, mengingat bahwa kemarin Yein berkata akan menyerahan surat pengunduran dirinya hari ini. Ketika aku mendapati mobilnya sudah tidak terparkir di depan garasi rumah Paman Yoongi, aku langsung bergegas menancap gas, melupakan jas dan dasi yang ku lemparkan ke kursi penumpang di sebelahku. Aku mesti menghentikannya, pikirku.

Sesampainya di kantor, aku berlari dua kali lebih cepat mengabaikan sapaan dari bawahanku dan pengunjung mall yang lalu lalang menatapku dengan aneh. Di setiap detik aku berdoa agar Tuhan masih membiarkan diriku menahan Jung Yein untuk tidak pergi. Sesaat aku menengok meja di depan ruanganku, itu milik Yein, dan wanita itu tak ada di sana. Aku dua kali lebih cepat melafalkan doaku sebelum memutar kenop pintu.

"Yein!" Aku berteriak memanggil, ketika kudapati figur seorang wanita di dalam sana.

Dia menoleh, dan ya itu Yein. Aku bersorak dalam hati, bergegas membawanya dalam pelukan. "Terima kasih, terima kasih," ucapku berkali-kali.

"Kau baik-baik saja, Kook?" Dia bertanya pelan, dan ada rasa khawatir di sana.

"Ya, aku baik-baik saja." Aku menatap dia, memberinya senyum, lalu mengecup keningnya, dan kembali lagi memeluk. "Yein, ayo kita minum!"

Dia mendongak, menatapku lebih bingung dari sebelumnya. "Kau benar-benar baik-baik sajakan?" Tangannya terulur menyentuh dahikuㅡmemeriksa.

"Aku memang melupakan apapun yang kulakukan saat mabuk, jadi ayo bertaruh. Jika kali ini aku juga lupa, aku akan melepaskanmu dan tidak lagi mengusikmu. Namun jika aku bisa mengingat dan menjabarkan semuanya dengan jelas, kumohon. Ceritakan semuanya yang terjadi di pesta perpisahan itu."

Dia terdiam, irisnya nampak menelisik sesuatu. Kemudian dia berkata, setelah sebelumnya menghela napas terlebih dahulu. "Baiklah, ayo kita minum setelah pulang kantor." []



Nih buat menemani malam minggu kalian😗 semoga suka ya. Oh iya sekedar mengingatkan minggu depan chapter 12 rate nya agak menjurus ke M. Jadi kalau gak nyaman tentang rating semacam itu bisa kalian skip saja. Makasih yang udah jawab curahan hati tifa kemarin ya 😂 aku gemeter buatnya😂😂😂 ya udah bye bye semua😘

Antithesis [JJK-JYI]✔Where stories live. Discover now