S2. Chapter 19

2.2K 239 36
                                    

Yein tidak pernah sekali pun meminta untuk diperebutkan begini. Daripada seperti ini, dia lebih memilih hidup sendiri bersama Denish, memulai semuanya hanya berdua. Tetapi mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Jungkook telah datang kembali dan Jimin sudah akan menjadi suaminya.

"Mommy~" Si Kecil Denish memanggil.

Mereka telah sampai setengah jam yang lalu di kediaman Jimin, namun baru memilih masuk sekarang. Jika kalian berpikir mereka membahas masalah di butik tadi, jawabannya tidak. Tak ada pembicaraan mengenai masalah itu, bahkan yang lain. Mereka hanya diam, kendati Jimin tetap menggenggam jemari Yein.

"Maaf ya, Mommy baru pulang," Yein tersenyum tipis. Tubuhnya terasa letih sekali, walaupun tak banyak yang dilakukan hari ini.

Denish mengerucutkan bibir lucu. Anak kecil itu sebenarnya bingung mengapa mata sang ibu nampak memerah dan sembab, juga tidak bersemangat. Jadi karena tidak tahu mesti bagaimana, dia hanya memeluk pada akhirnya. "Dey sayang sekali dengan Mommy. Jadi Mommy jangan sedih ya."

"Mommy tidak sedih kok," kata Yein.

"Mommy hanya sedang kelelahan, Baby. Jadi Dey main dengan Papa saja dulu, ya?" Jimin menawarkan diri dan dibalas anggukan setuju oleh Denish. "Mommy istirahat dulu saja, Dey akan jadi anak baik dan main dengan Papa," Denish berkata dengan keseriusan.

"Baiklah, terima kasih atas pengertiannya anak Mommy. Sini cium dulu." Denish tertawa kecil mendapati serangan ciuman dari Sang Mommy. Senang sekali rasanya mendapatkan ciuman dari Mommy, ini sih lebih menyenangkan daripada es krim. Tapi es krim juga menyenangkan sih.

Jimin tersenyum manis, dia mengecup singkat kening Yein seraya berbisik pelan, "Istirahatlah dulu. Aku akan mengurus Denish." Wanita itu mengangguk pelan, memilih pergi ke kamar setelah presensi Jimin dan Denish menghilang di balik lorong.

Kepalanya berdenyut kuat, jantungnya masih berdegub cukup kencang, dan perutnya sudah seperti diaduk-aduk. Dia tidak pernah mengalami serangan kecemasan seperti ini lagi setelah terakhir saat bangun di kamar apartemen Jungkook pagi itu (ketika Yein mengajak Jungkook untuk minum dan berakhir melakukan hal itu lagi).

Jadi untuk mengurangi efek kecemasan ini, Yein membuka laci nakas dekat tempat tidurnya, mengambil sebuah botol dan mengeluarkan isinya. Dia meneguk dua kapsul sekaligus tanpa bantuan air. Ia perlu tenang sekarang. Saat ini dia tidak boleh depresi seperti dulu lagi dan membuat Denish ketakutan. Tidak boleh.

Wanita itu perlahan memasuki kamar mandi, menenggelamkan dirinya dalam bathup dengan keran menyala. Berusaha sekuat tenaga menenangkan diri dengan ala kadarnya. Hingga pandangannya kabur dan menggelap.

***

Jimin serasa akan mengalami serangan jantung mendadak, ketika mendapati Yein yang pingsan di dalam bathup dengan balutan pakaian yang sama seperti tadi. Ini mungkin bukan kali pertama, tetapi Jimin juga tak mau melihat pemandangan ini lagi. Jadi tanpa buang waktu, dia langsung mengangkat tubuh Yein, menekan sebuah tombol yang memang ia letakkan di salah satu sudut ruangan kalau-kalau kejadian ini datang lagi. Tidak butuh waktu lama agar beberapa pelayan sudah masuk ke dalam kamar bergaya klasik ini.

"Seungjoon tolong periksa Yein," kata Jimin dengan rasa cemas yang luar biasa.

Lelaki yang dipanggil Seungjoon itu pun hanya mengangguk dan mulai melakukan tugasnya, tidak berkomentar banyak atau mempertanyakan. "Nona Yein hanya pingsan, Tuan. Tidak ada masalah yang serius."

Jimin menghela napas lega. "Bibi Sora, tolong gantikan pakaian Yein dulu. Seungjoon kau ikut aku sebentar. Untuk kau Yena, temani Denish dulu, dia sedang tidur sekarang dan katakan pada yang lain untuk tidak panik. Aku tak mau Denish merasa ketakutan atau khawatir." Tiga orang itu mengangguk patuh, lalu melakukan tugasnya masing-masing, mungkin sudah terbiasa menangani situasi seperti.

Jimin dan Seungjoon sudah berpidah ke sebuah ruangan kerja yang memang terhubung antara kamar Jimin dan Yein. Mereka memang telah bertunangan, namun walau begitu Jimin tak pernah melewati batasannya sebagai sahabat. Bukannya sungkan, ini lebih seperti Yein yang begitu takut untuk melakukan hubungan badan. Keduanya sudah mencoba beberapa kali, namun ketika ingin melakukan hal itu mereka pasti terhenti karena serangan panik Yein. Rasa takut karena merasa akan dilupakan selalu menghalangi mereka melakukan hal lebih. Jimin tidak menyalahkan Yein sedikit pun, dia tahu gadis itu tidak bersalah, namun ada kala dia merasa kecewa. Sebentar lagi mereka akan menikah, jadi apa semua itu akan tetap seperti ini selamanya?

"Apa penyebab Nona Yein seperti ini lagi?" Seungjoon membuka pembicaraan.

Jimin tidak langsung menjawab, dia memilih diam sambil memijat pelipisnya perlahan. "Jungkook kembali. Mereka berdua bertemu. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan tapi kurasa itu masih berhubungan tentang masa lalu keduanya," ujar Jimin pada akhirnya.

Seungjoon menghela napas. Dia adalah lulusan terbaik jurusan Psikologi di Universitas Seoul dan baru saja lulus. Waktu itu Jimin menawari untuk bekerja dan dia menerima, karena beberapa pertimbangan. Jadi selama beberapa bulan ini dia ikut pindah ke Swedia menjadi bawahan serta dokter khusus untuk Yein. "Aku melihat botol obatnya tadi tergeletak di samping tempat tidur. Kurasa dia kembali meminum obat penenang lagi."

Astaga jangan obat penenang. Jimin mengacak rambutnya frustasi. Memang bukan satu dua kali Yein mengalami gangguan kecemasan, bahkan di Inggris dulu Jimin juga sudah sering menghadapi itu. Namun itu semua makin buruk saat wanita itu memutuskan kembali ke Korea. Terakhir kali Yein mengonsumsi obat penenang dia hampir kehilangan nyawa karena overdosis. Dan kini yang ditakutkan Jimin mungkin saja akan kembali terjadi.

Ketukan pintu mengintrupsi keduanya, membawa presensi Bibi Sora yang berkata, "Saya sudah mengganti pakaian, Nona Yein."

"Terima kasih, Bi. Kalian bisa kembali. Tetaplah bersikap seperti biasanya," Jimin berkata dengan senyuman kecil yang dipaksakan.

Sepeninggal keduanya, Jimin kembali memasuki kamar Yein. Wanita itu sudah dibalut rapi dengan piyama berwarna biru malam dengan motif bunga-bunga kecil. Dia nampak tenang dan terlihat damai. Jimin bahkan jadi merasa takut sekali. Takut jika wanita yang dia cintai itu akan pergi bersamaan dengan kedamaian yang dirasakan saat tidur.

"Kenapa kau seperti ini lagi, Yein?" Jimin bergumam pada diri sendiri. Dia duduk di tepian ranjang dengan tangan yang menggenggam salah satu milik Yein. "Jangan lakukan ini lagi, aku tak bisa hidup tanpamu."

"Jika kau memang mencintainya, kenapa kau masih berkeras hati begini?"

"Jadi Kakak mau aku pergi?" Sebuah suara yang lebih mirip bisikan terdengar. Itu milik Yein. Pandangannya sayu, kendati begitu matanya tetap menatap milik Jimin lamat-lamat.

"Kau sudah sadar?" Jimin buru-buru bangkit. "Aku akan memanggil Seungjoon. Tunggu di sini sebentar." Namun belum sempat melangkah menjauh, tarikan di ujung baju menghentikannya.

"Apa Kakak mau aku pergi?" Ulang Yein sekali lagi.

"Tidak," kata Jimin tegas. Pria itu merengkuh tubuh Yein, menyalurkan rasa hangat beserta ketidak relaan jika wanitanya pergi. "Aku tidak mau. Kau milikku Yein."

"Kalau begitu, tetap lindungi aku. Beri aku waktu untuk menyelesaikan ini semua. Beri aku waktu untuk melupakan Jungkook," pinta Yein pelan.

"Kau yakin bisa melupakannya?

"Aku akan mencoba." []



Sekedar memberi tahu, Hidden Chapter itu kisah masa lalu ya. Jadi alurnya mundur. Hidden Chapter menjelaskan kenapa Denish bisa ada. Intinya tentang kejadian di malam itulah.

Aku mau tanya dan tolong dijawab, karena aku pengen tau apakah sifat yang aku pengenin di ff ini nyampe kekalian.

Menurut kalian sifat-sifat dari Yein, Jungkook, dan Jimin tuh seperti apa sih?

Mohon dijawab ya terima kasih.🙏

Antithesis [JJK-JYI]✔Where stories live. Discover now