Chapter 14

2.5K 283 42
                                    

Dua bulan. Sudah dua bulan setelah Yein kembali menghilang. Kini tidak hanya dia dan Denish, melainkan Paman Yoongi dan Bibi Jiae ikut juga. Sedangkan aku di sini masih senantiasa menatap rumah bercat putih yang rumput di pekarangannya mulai meninggi.

Wanita itu pergi tanpa membiarkanku mengatakan bahwa aku mengingat apa yang terjadi di malam terakhir kami bersama. Dia pergi begitu saja, tanpa sempat mengutarakan semua kebenaran yang dia pendam. Jung Yein pergi.

Hari senin setelah akhir pekan penuh kenikmatan itu berubah, saat sebuah amplop tergeletak di atas meja kantorku. Di sana tertulis, surat pengunduran diri dengan font yang cukup besar. Aku membuka dengan cepat, sempat hampir merobek benda itu karena terburu. Ada dua lembar kertas yang dilipat di sana, salah satunya surat pengunduran diri secara resmi dan satu surat lain yang kertasnya nampak berkerut terkena air.

Halo, Jeon.

Maaf, mesti menyapamu dengan keadaan tak sopan begini. Aku pamit ya. Maaf kali ini aku pergi lagi.

Aku takut. Takut akan kau yang mungkin saja melupakan apa yang sudah kita lakukan sebelumnya. Aku tahu aku pengecut. Tetapi, aku benar-benar tak sanggup.

Lamaranmu tempo hari terasa amat manis. Sungguh, jika dikehidupan nanti kita kembali bertemu, aku berjanji. Bukan kau yang akan melamarku, tapi aku yang akan melakukannya.

Terima kasih telah menyambutku dengan ramah, menjaga Denish di saat aku tak ada. Terima kasih banyak. Maaf karena tak bisa membalas semua kebaikanmu. Aku pergi.

Jangan mencoba mencariku. Kau mesti bahagia, Jungkook. Carilah gadis lain, gadis yang benar-benar gadis. Bukan seorang ibu sepertiku. Kumohon lupakan aku.

Jung Yein.


Mencari gadis lain?! Yang benar saja. Bagaimana bisa aku berpikir begitu, jika satunya yang kuinginkan hanya dia. Jung Yein. Aku tidak memerlukan orang lain. Cukup dia.

Sepeninggal Yein, waktuku banyak dihabiskan dengan mencari info tentangnya dan bekerja. Ya, hanya itu. Saat dia pergi, aku sempat melapor pada polisi. Namun mereka hanya tertawa, menganggap aku sedang bercanda. Mereka berkata bahwa tidak bisa memproses masalah ini. Jika dilihat dari kepergian Yein yang tiba-tiba namun sudah terarah, polisi merasa bahwa wanita itu bukanlah di culik atau sejenis. Dia pergi atas keinginannya sendiri.

"Jungkook, ayo makan sekarang," kata Ibu. Aku menggeleng, aku tak butuh makan, yang kuinginkan hanya Yein. "Kau sudah tak makan sejak kemarin, Kookie. Ibu tak mau kau kembali masuk rumah sakit."

Ah. Rumah sakit. Faktanya aku memang beberapa kali dilarikan ke rumah sakit karena kedapatan pingsan sebab tak banyak asupan yang masuk ke dalam sistem pencernaanku. Sudah kubilang bukan, yang kubutuhkan hanya Yein, dan makanan bukanlah Yein, jadi aku tak butuh itu.

"Lupakan Yein. Ibu mohon. Dia tidak akan kembali, Sayang. Lanjutkan kehidupanmu. Masih ada banyak gadis lain di luaran sana, dan Ibuㅡ"

"Aku tak mau, Bu! Aku hanya ingin Yein bukan yang lain! Apa Ibu tak mengerti?" Aku berteriak, membentak ibuku sendiri.

Ibu terdiam, menyentuh dadanya karena terkejut akan teriakanku. Matanya berkaca-kaca. Kurasa dia sudah tak tahan menghadapi sikapku yang semakin melemati batas. Orang-orang nampak mengintip dari rumahnya masing-masing, menganggap ini tontonan yang sayang untuk dilewatkan. Kami memang berada di teras rumah saat ini wajar jika mereka memperhatikan, lebih-lebih karena teriakanku tadi.

Aku menghela napas kasar sekali, "Maafkan aku, Bu. Aku tak berniat membentak, Ibu. Tetapi sungguh, aku sedang tak lapar saat ini." Dia makin menatap nanar, membuat aku semakin jijik atas diri sendiri. "Aku akan pergi ke kantor. Tolong bungkuskan saja makanannya, nanti akan kumakan."

Dia mengusap pipiku lembut sekali, tersenyum begitu paksa, lalu mengangguk. "Baiklah, Ibu akan membukuskan. Berjanjilah untuk memakannya."

Aku memilih mengangguk. Hanya ini yang bisa menghentikan Ibu, kurasa. Sungguh aku tak berniat bersikap kurang sopan seperti tadi. Namun emosiku benar-benar turun naik sekarang, oleh sebab itulah aku melarikan diri pada perkerjaan. Membiarkan seluruh berkas menyembunyikanku dari dunia, sambil menungguh pujaan hatiku kembali.

Angganku masih membumbung tinggi, berharap dia akan kembali seperti dulu. Ini baru dua bulan, jadi kurasa aku pasti bisa bertahan. Benarkan?

Sesampainya di kantor, langkahku terhenti di sebuah kaca besar yang terdapat di salah satu sudut ruangan. Benda itu memantulkan refleksi pria kurus dengan kantung mata menghitam di kedua miliknya. Itu aku.

"Lihatlah, Yein. Kau bilang, aku pantas bahagia. Tapi apa yang mesti kulakukan sekarang, jika semua kebahagianku kau bawa pergi?" Aku bergumam, menatap nanar pada diriku sendiri.

Tak lama, refleksi lain muncul dari balik pintu ruangan. Aku berbalik, menemukan Taehyung berdiri di sana. Dia mendekat, mengusap-ngusap bahuku sejenak.

"Sudah saatnya kau mesti bangkit, Kook. Ini bukan lagi perkara tentang kau yang kehilangan Yein," kata Taehyung dengan nada serius. "Jika kau kehilangan Yein. Kami pun sama merasakannya, tapi kami juga kehilangan dirimu."

Aku menutup mataku. Aku tahu. Aku tahu. Otakku pun sudah sadar bahwa sungguh tidak berguna meratap begini, namun hati ini rasanya sulit sekali untuk sekedar menerima.

Ketukan di pintu mengintrupsi kami, di sana Jungwoo masih mengatur napasnya sebelum bicara dengan cepat, "Saya mengetahui di mana keberadaan Park Jimin." []


Ya seperti kata Tifa, chapter 14 lebih cepat dari pada rencana publish. Tapi gak masalah karena pendek. Persiapkan emosi kalian buat chapter selanjutnya karena aku yang nulis pun jadi emosi, kesal, marah. Padahal aku yang bikin:"3
Yuk yang punya insta add tifa di @st.jeonjeong kali aja dapet spoiler :"v

Antithesis [JJK-JYI]✔Where stories live. Discover now